11. The Unheard Voice

264 41 9
                                    

11. The Unheard Voice


Megan menggenggam tangannya yang gemetaran. Jalan yang ia tempuh menuju sekolah tidak bisa dibilang sunyi.

Sengaja ia memakai headset. Dan lagu Andrew Belle sangat membantu kegugupannya.

Sudah berkali-kali dirinya berniat tak datang, tapi guru English-nya akan menemuinya.

Megan tahu hari kelulusan sebentar lagi, dan ia tak berniat hadir.

Ia menggigit jarinya menatap gedung sekolah yang makin mendekat. Ia tak henti menatap ke bawah, takut akan dilihat teman sekolah. Yang menurutnya tak akan berhasil.

Sesampainya di lorong menuju loker, Megan tak berhenti berdoa semoga tak ada orang yang menyadari kehadirannya.

Tak ada satupun yang tahu peristiwa mengenaskan yang terjadi di gedung olahraga itu.

Saat mencapai lokernya, ia bergegas menemui Mr. Yuan, guru English, di kantor.

"Good Morning, Sir," sapa Megan pelan.

"Ah, Megan, kau datang. Aku ingin memberimu nilai ujian. Hasilnya sangat bagus. Aku harap kau bisa melanjutkannya. Kupikir bagus untuk melatih kemampuan menulismu. Aku sangat senang jika kau melanjutkannya nanti di high school. Good job, Megan."

Megan tertegun, menatap Mr. Yuan yang tersenyum. "Thank you, Megan. Aku ada urusan, kau boleh pergi."

Di saat Mr. Yuan sudah beranjak dari kantor, Megan tetap di tempatnya. Ia melihat tanda A+ tertera di kertas itu.

Megan membawanya ke dadanya. It's not bad at all.

Dengan senyum mengembang, ia berjalan keluar hanya untuk bertemu dengan segerombolan pemuda yang mengerjainya dulu.

Ia membeku di tempat. Saat Megan mulai diperhatikan oleh salah satu di antaranya, pemuda itu malah tertawa melihatnya.

Satu pemuda tertawa, dua pemuda tertawa, tiga, lalu semua orang yang menyadari hal tersebut, mulai cekikikan tak jelas. Seperti efek domino.

"Look at that fatty, dia masih sama seperti kemarin kita mengerjainya. Hahaha..."

Megan menutup matanya dan meneguk salivanya gugup. Tak ada yang membantunya.

Lawan Megan, lawan.

Dan seperti sebuah ledakan. Kata-kata yang ingin keluar dari mulutnya dahulu tak dapat ia bendung lagi.

Kertas berlabel A+ yang tadi digenggaman mulai kusut karena cengkramannya.

"STOOOP IT... STOOOP IT NOOW," teriak Megan.

"YOU..." tunjuknya pada satu pemuda.

"MONSTER. YOU ARE ALL THE SAME... A MONSTER."

Tak membantu, pemuda yang mengejeknya malah semakin tertawa. Megan tak mau ambil peduli. Ia menyisir wajah siswa-siswi di sekitarnya.

Mereka semua terdiam, aura tak percaya terpancar jelas di sana, termasuk salah satu pemuda yang pernah menjadi bagian hidupnya, berdiri tak jauh di sana. Pemuda itu hanya diam membeku menatap sosok Megan.

Owen.

Tak ambil pusing, Megan berjalan menjauh. Ia hanya berharap ketika pagi esok, semuanya akan berbeda.

Namun ia tak ingin lagi menyerah. Ia akan melawan. Karena janji yang dipikul kedua bahunya. Karena janjinya pada Luwina. Ia harus kuat.

Sesampainya di toilet wanita, ia menghambur masuk ke dalam salah satu bilik. Megan tidak menangis, ia hanya mengatur napasnya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.

"Megan, are you okey?"

Itu suara Claire.

"Apa ada orang di luar, Claire?" tanya Megan pelan.

"Tenang saja, sudah kuusir."

Megan membuka pintu dan tanpa aba-aba Claire langsung memeluknya erat. Ia tertawa puas hingga Megan mengernyit bingung.

"Kau sungguh hebat tadi," ungkapnya menepuk punggung Megan. "That's my girl."

Megan pun ikut tertawa. Dan seperti ada bunyi klik di kepalanya, Megan menarik bahu Claire, menatapnya dengan sungguh-sungguh.

"Claire, I need your help."

20032017

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

20032017

With Love

The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt