Dua Puluh Sembilan

1.9K 113 24
                                    

Menurut seorang Fallen, obat terampuh yang dapat meringankan beban-beban dalam hidupnya adalah dengan berbahagia. Berbahagia dalam kamus kehidupannya itu tidaklah sulit. Cukup dengan membelakangkan masalah, hidup dengan sebagaimana mestinya, dan tak lupa mencari cara agar masalah tersebut dapat segera terpecah.

Fallen jadi mengingat kembali caption yang ditulis adiknya di Instagram kemarin malam.

'Manusia terlahir dan hidup dengan kamusnya masing-masing'

Fallen berdecak mengagumi Rasya yang entah kerasukan apa. Me-like postingan tersebut dan meninggalkan komentar yang menanyakan dari mana adiknya bisa mendapatkan kata-kata itu.

Rasya Anindita: dari film bang.

Fallen Syahreza: Film apa?

Rasya Anindita: goblin.

Fallen Syahreza: Film holiwut? Kayak pernah denger.

Rasya Anindita: bukan-_- orang drama korea kok.

Fallen Syahreza: meh.

Rasanya Fallen ingin me-unlike, tapi itu sangat kekanakan. Lagipula, cowok itu juga sudah terlanjur suka dengan wejangan yang diucapkan oleh Ji Eun Tak dalam drama Korea Goblin tersebut. Meski sebenarnya cowok itu termasuk dalam golongan Anti koriya-koriya klub.

Fallen menyetujui, bahwa manusia memang hidup dengan kamusnya sendiri-sendiri. Di kamus miliknya, tidak ada kata 'Putus asa', 'Menyerah', dan sejenisnya. Untuk manusia se-pala-batu Fallen, hal-hal seperti itu memang ia buang jauh-jauh.

"Den Fallen, Nyonya telepon." suara khas milik Bi Sri menyadarkan Fallen dari lamunannya. Cowok itu segera bangkit dari kasur dan berniat membuka pintu.

"Mana, Bi?" tanyanya, setelah pintu terbuka.

Bi Sri menyerahkan telepon tanpa kabel tersebut dengan gerakan hati-hati, takut merusak.

"Makasih ya, Bi. Bibi lanjut masak aja, nanti saya yang balikin teleponnya ke bawah."

Bi Sri mengangguk, lantas turun ke lantai satu.

"Halo, Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam, Fallen?" dada Fallen seketika menghangat mendengar suara merdu mamanya.

"Iya, Ma."

"Mama hubungi ponsel kamu kok gak di angkat-angkat, sih."

Fallen tersenyum lebar. "Hehe. Aku gak tau mama nelpon." katanya sembari kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Ye, ni anak. Percuma beliin kamu hp kalo masih susah dihubungin." samar-samar Fallen dapat menangkap suara dentingan piano yang dimainkan seseorang dengan lihai di sebran sana. Fallen menebak, saat ini Mamanya berada di ruang musik keluarga, bersama dengan Rasya. Fallen hapal betul permainan piano Rasya. Adiknya itu memang bercita-cita menjadi pians.

"Jangan marah dong, Ma. Belakangan ini lagi sibuk banget, nih. Belajar bareng terus, ngejar ketinggalan pelajaran. Mama tau sendiri aku udah kelas dua belas."

Saras--Mama Fallen--mendengus. "Gak percaya Mama sama kamu. Paling juga lagi ngurusin cewek-cewekmu yang segudang itu."

"Astaghfirullah, Mama nih, suudzon terus sama anak sendiri. Gak baik tau."

"Siapa yang suudzon? Mama yakin pacar kamu yang di London itu pasti lagi kamu duain."

Fallen tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan mamanya yang kelewat jujur. Walaupun secara harfiah itu tidak benar, namun Fallen tetap merasa terpojokkan. Ah, mamanya memang yang paling tau.

180°Where stories live. Discover now