Dua Puluh Satu

3.1K 174 14
                                    


Langit sudah gelap. Bulan dan Bintang telah menggantikan posisi matahari yang sepertinya lelah menerangi bumi terus-menerus selama kurang lebih empat belas jam. Singkatnya, mereka telah tukar posisi. Mengikuti kehendak alam dan Tuhan.

Entah kenapa, Alexa berpendapat malam ini sangat berbeda dengan malam sebelumnya. Biasanya kalau malam sudah datang, Alexa akan selalu bingung harus berbuat apa, ia juga mudah sekali bosan. Alhasil, untuk membunuh rasa bosannya, Alexa akan ke club atau ke tempat-tempat ilegal yang banyak digemari oleh para remaja nakal.

Akan tetapi, seperti pendapatnya tadi, malam ini sangat berbeda dengan malam-malamnya yang biasa. Padahal ia hanya duduk-duduk tidak jelas di dalam kamar, tapi anehnya, rasa bosan sama sekali tidak melandanya.

Ya, walaupun raganya hanya bergerak-gerak tak jelas, tapi pikiran dan hatinya sedang tertuju pada satu orang. Siapa lagi kalau bukan Fallen? Cowok yang baru saja muncul di kehidupan Alexa, namun sudah dapat membuatnya terpengaruh sampai sebegininya.

Memang, cinta itu ajaib.

Tunggu, tau dari mana kalau ini memang cinta? Dari matamu, gitu? Bukan. Ini bukan lagunya Jaz.

Alexa hanya sedang, yah, istilahnya berbunga-bunga. Ia bahagia. Entah kapan terakhir kali ia merasakan perasaan macam itu. Alexa juga tidak terlalu ingat.

"Kak?"

Suara itu membuyarkan lamunan Alexa. Ia mendengus, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu dan membukanya. "Kenapa?" tanyanya malas.

Rafa merasa tidak enak telah mengganggu aktifitas kakak sematawayangnya. "Laper, ngga?"

Alexa berpikir sejenak. Padahal dari tadi ia tidak merasakan apa-apa pada perutnya. Tapi setelah ditanya seperti itu oleh Rafa, mendadak perutnya sakit. Alexa ingat, ia belum makan dari pagi. Tadi siang saat jam istirahat di sekolah juga ia tidak ke kantin. Sebenarnya sih, hampir. Tapi digagalkan oleh Fallen yang menyapanya saat ia sedang berjalan bersama Kirana di koridor. Ah, kalau mengingat itu lagi, hati Alexa jadi menghangat.

"Heh," lagi, suara Rafa menyentak Alexa dari lamunannya. "Ditanya kok malah senyam-senyum, mikirin apaan lu?"

Alexa menghapus senyumnya. Lagi pula, ia tidak merasa tersenyum, kok. "Emang ada makanan?"

Rafa mengangguk.

"Makanan dari mana? Delivery lagi? Ah, gue males makan it--"

"Bukan." potong Rafa cepat.

Alexa memasang tampang bingung. "Terus?"

"Gue masak sendiri."

"Emang lo bisa masak?"

Rafa menggaruk tengkuknya. "Ya, masih belajar, sih. Gue diajarin sama Bibi Lia."

Bibi Lia. Alexa sedikit merasa tidak enak saat nama itu disebut. Bibi Lia adalah kakak dari almarhumah ibunya. Alexa merasa bersalah karena jarang mengunjungi Bibi dan Pamannya.

"Kapan lo belajarnya? Emang pernah ketemu?" tanya Alexa.

"Gue sering ke rumahnya. Bi Lia sama Paman Sam nanyain lo terus. Lo kapan kesana? Mereka jarang kesini karena Paman sibuk ngurusin perusahaan yang di London, sedangkan Bi Lia ngurusin anak tunggalnya yang bader itu."

Alexa manggut-manggut. Ia merasa tidak enak pada Paman dan Bibinya. Padahal mereka telah berbaik hati mengurus keperluan hidup dirinya dengan Rafa. "Gue pikirin nanti, deh."

"Ya udah, lo makan dulu, muka lo pucet."

"Lo masak apa?"

"Liat aja, sendiri."

180°Where stories live. Discover now