Delapan

6K 421 17
                                    

"SERIUS, ANJING?!"

Jordan berkata lantang setelah baru saja menyemburkan teh hangat yang telah repot-repot dibuat oleh Mama Revan. Bagaimana tidak repot? Sekarang baru jam lima pagi, namun rumahnya sudah didatangi tamu yang tak lain adalah tamu anak sematawayangnya, Revan Aditya.

"Harus banget nyembur, nyet? Lo pikir lo mbah dukun?" Andre mengusap tangannya yang terkena semburan Jordan. "Tuh, liat sendiri kondisinya Fallen. Babak belur begitu. Anak Cakrawala sialan."

Jordan memandangi Fallen ngeri, sedangkan Fallen yang sedari tadi memang menjadi pusat perhatian teman-temannya hanya mendengus. "Udahan kek liatinnya. Berasa satwa gue," katanya. Laki-laki itu sedang merebahkan diri di kasur Revan. Sedangkan keempat temannya duduk di tempat lain.

Setelah dijemput dari rumah Alexa, Fallen segera dibawa pindah ke rumah Revan. Rumah yang dari dulu selalu jadi tempat berkumpul mereka. Jordan yang sebelumnya ketinggalan informasi pun sudah bergabung walaupun telat. Buru-buru dia bersiap untuk ikut mengunjungi rumah Revan, lengkap dengan seragam sekolahnya. Sekarang, di sini lah Jordan berdiri. Memasang tampang terkejut setelah Andre menceritakan ulang kejadian yang menimpa Fallen dengan rinci.

"Sakit, Fal?" Jordan memandang Fallen iba, membuat Fallen mengernyit jijik.

"Lo deket-deket gue tampol ya, Dan. Diem disitu." Fallen mengangkat tangannya, mencegah tragedi yang lebih mengerikan terjadi. Jordan mencoba memeluknya, contohnya.

Melihat aksi temannya, Revan hanya geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan Fallen yang secepat itu terlibat masalah. Dia bahkan belum genap seminggu berada di negeri ini, namun masalah sudah mendatanginya satu per satu. Beruntung Revan memiliki Mama yang pengertian. Begitu mamanya melihatnya datang jam lima pagi bersama teman-temannya--termasuk Fallen yang bonyok--, mamanya mengangguk mengerti begitu Revan berkata, "biasalah, cowok." Bahkan, dia dan yang lain dibuatkan teh hangat, lengkap dengan cemilan.

"Lo dalam masalah, Fal," gumam Revan tiba-tiba. "Lo semua tau kan anak Cakrawala gimana. Bukan hal mustahil kalo mereka bakal cari lo dan mungkin ngabisin lo."

Mendengar itu, bulu kuduk Jordan berdiri. "Lo jangan nakut-nakutin, Van," katanya ngeri. Kemudian duduk di sofa kecil sebelah Andre.

"Revan bener, Jor." Brian yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini ikut bersuara. "Lo inget Hatami? Temen SMP kita yang masuk Cakrawala, meninggal sebulan kemudian setelah bermasalah sama kakak kelasnya. Ya gosip doang, sih. Cuma gue yakin emang ada yang nggak beres sama tuh sekolah. Entah karena muridnya atau apa. Ditambah lagi yang masuk situ rata-rata anak kalangan atas semua. Jadi yah, gue nggak kaget sih kalo mereka bisa ngelakuin apapun. Zaman sekarang nutupin kejahatan kan make uang."

Revan mengangguk setuju.

"Pantes motor gue nggak dibawa kabur, ternyata mereka anak orang kaya," gumam Fallen. "Anak orang kaya tapi kelakuan norak. Main keroyokan. Niat banget dateng ke tempat begitu cuma buat nyari Danton."

"Itu dia." Revan menimpali. "Gue udah bilang, bukan hal mustahil anak Cakrawala nyari orang yang cari masalah sama mereka. Danton pasti jadi salah satunya. Lo tau sendiri, Danton itu musuh umat."

"Setuju."

Ruangan berukuran sedang itu sejenak lengang, menyisakan suara televisi yang sengaja dikecilkan volumenya. Fallen menghembuskan napas gusar. Memandangi poster bergambar Christian Ronaldo yang menempel di dinding kamar Revan sembari berpikir. Mengapa anak Cakrawala mau repot-repot turun tangan? Kalau benar mereka cukup kaya, mengapa tidak menyewa orang saja untuk sekadar balas dendam? Sekali lagi Fallen menghembuskan napas. Dia bingung. Bisa-bisanya dia terlibat masalah seperti ini. Mamanya pasti akan menarik telinganya sampai putus jika tahu. Danton memang sialan.

180°Where stories live. Discover now