Enam

7.1K 435 17
                                    

"Kamu dan Rafael itu permata milik mama yang paling berharga. Paling mahal harganya dari apa pun yang mama dan papa punya. Jadi, Al nggak perlu cemburu lagi sama Raf, ya. Al kan tau sendiri, Raf itu nakalnya seperti apa. Mama sering dipanggil sama gurunya karena perbuatan Raf yang suka aneh-aneh."

Perempuan kecil yang masih berumur delapan tahun itu menghapus jejak air matanya. Mengusap pipinya yang memerah sembari sedikit tersenyum. "Raf bandel banget ya, Ma," ucapnya.

Mama Alexa tertawa. "Betul. Bandel banget, banget, banget. Jadi, kamu nggak usah cemburu lagi ya, Al. Raf itu kalau nggak dibimbing pelan-pelan, nanti dia makin bandel. Kalau kamu kan jauh lebih nurut dibandingkan Raf. Pokoknya yang harus kamu ingat itu, mama sama papa sangat sayang kalian berdua."

Alexa menutup nostalgianya dengan senyuman getir.

Kenangan memang suka bertamu tanpa permisi. Kalau bisa, Alexa lebih memilih untuk melupakan segala kenangan masa lalunya ketimbang harus teringat dan kembali merasakan sakit.

Dia benci kenangan indah.

Karena semakin dikenang, semakin menyakitkan pula kenangan itu untuknya.

Menghembuskan napas kasar, Alexa menendang botol plastik kosong yang menghalangi jalannya. "Bohong banget," ucapnya, menggerutu, "katanya sayang. Sayang kok ninggalin."

Dengan langkah kaki konstan, Alexa terus berjalan menuju tempat tinggalnya. Menyusuri jalanan beraspal yang sedikit lembab, sepi, dan di kelilingi oleh tanaman bambu.

Matahari kini telah tenggelam seutuhnya. Langit yang sebelumnya berwarna jingga kini menggelap. Lampu-lampu jalanan sudah dinyalakan, dan aktifitas malam pun mulai berjalan sebagian.


Saat ini perasaan Alexa membaik, sedikit. Usai bertengkar dengan Reyhan sore tadi, perempuan itu memutuskan untuk kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Dia butuh waktu untuk sendiri. Butuh waktu untuk memulihkan perasaannya kembali. Seorang Alexa tidak boleh lemah, apalagi dengan urusan percintaannya dengan Reyhan yang harusnya sudah usai dari lama.

"Move on, move on, move on, Alexa. Ikhlasin Reyhan. Masa yang ninggalin gue, yang sedih juga gue. Nggak banget, deh," ucapnya pada diri sendiri.

Tujuh menit berjalan, Alexa semakin dekat dengan rumahnya. Fakta itu seharusnya menenangkan, tapi nyatanya tidak sama sekali. Perasaannya tiba-tiba saja tidak enak. Sesekali Alexa menoleh ke belakang, memastikan dirinya seorang diri di jalan kompek yang memang sepi itu.

Sial, gue merinding.

Alexa mempercepat langkahnya. Menyesal karena memilih rute yang salah. Meskipun rute tersebut jauh lebih cepat ketimbang lewat jalan besar, tapi tetap saja Alexa enggan menerima risiko bila dia dibunuh oleh sekelompok preman atau hantu gentayangan.

Ah, dia harus mengurangi menonton film horror.

Demi apa pun, Alexa merasa ada yang mengikutinya di belakang sana. Entah apa, dia tidak berani untuk menoleh ke belakang lagi. Fokusnya hanya satu, pulang cepat-cepat ke rumah dengan selamat.

Namun semakin dia mempercepat langkahnya, sesuatu di belakang sana semakin mengejarnya. Alexa tidak lagi berjalan cepat, melainkan berlari.

Lari, lari, lari, Alexa. Mama, tolongin!!!

Sampai tiba-tiba, seseorang menarik tangannya dari arah belakang. Alexa meronta sembari berteriak sekencang yang dia bisa. "LEPASIN! RAFA, TOLONGIN!"

Seseorang yang menarik tangan Alexa terkejut, ikut panik karena teriakan Alexa yang maha dahsyat. "Eh, eh, jangan teriak, Alexa. Gue Fallen, gue Fallen. Bukan setan."

Mendengar suara tersebut menyebut namanya, Alexa berhenti meronta, kemudian membuka matanya yang dia sendiri pun tak ingat kapan menutupnya. "Lo, lo siapa? Kenapa ngi-- LO BERDARAH?!"

Fallen melepaskan genggamannya pada pergelangan Alexa. Melihat air mata di ujung mata perempuan itu membuatnya merasa bersalah. "Sori nakutin lo, gue mau teriak manggil lo tapi nggak sanggup."

Alexa memerhatikan Fallen lamat-lamat. Antara ingin mengingat-ingat siapa laki-laki itu namun juga salah fokus karena penampilan Fallen yang, mengerikan?

Rambut serta seragam Fallen benar-benar kotor dan berantakan. Dahi dan sudut bibirnya berdarah, pipinya lebam. Fallen sedikit membungkuk, terus menekan perutnya. Mendengar ringisan terus keluar dari mulut Fallen, Alexa merasa iba. Dia pasti kesakitan.

"You okay?" tanya Alexa kemudian.

Fallen diam sejenak, kemudian menggeleng. Jelas sekali, tentu saja dia tidak baik-baik saja. "Not really, and I need your help."

***

Usai mandi, Alexa turun ke ruang keluarga. Hendak menjenguk laki-laki yang tadi siang bermasalah dengan Danton di kantin sekolah. Iya, Alexa akhirnya ingat. Dia adalah Fallen Syahreza, laki-laki yang sedang fenomenal di sekolahnya. Teman sekelasnya tiada henti membicarakan laki-laki tersebut.

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Fallen sudah tertidur lelap di sofa keluarga Alexa yang empuk. Dahinya telah diperban. Lukanya telah diberi antiseptik dan obat. Seragamnya pun telah berganti menjadi kaus oblong polos berwarna hitam milik adiknya, Rafael.

"Dia bakalan baik-baik aja. Gue udah obatin semua lukanya termasuk perutnya yang kayaknya abis ditendang orang. Dia udah minum obat juga, pereda rasa sakit. Yah, bisa ngebantu sedikit supaya dia tidurnya rada nyenyak."

Mendengar penjelasan dari Rafa, Alexa mengangguk. Sedikit lega dan beruntung karena adiknya bisa diandalkan.

Ketika Alexa hendak naik ke lantai dua untuk kembali ke kamarnya, Rafa memanggilnya. "Lo kenal dia?"

Alexa diam. Itu sebenarnya yang hendak dirinya katakan dari tadi. Mulutnya terasa gatal namun juga juga terkunci. Masalahnya, Rafa dan Fallen terlihat saling mengenal. Dan Alexa gengsi bertanya duluan.

"Kenal. Dia satu sekolah sama gue," balas Alexa. "Lo?"

"Kenal. Dia orang yang telpon gue pas lo mabok, dia juga orang yang bawa lo ke rumah. Gue bawa motor, dia bawa mobil lo."

Alexa terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk-angguk. Ah, dia ingat sekarang. Benang-benang merah yang semerawut di kepalanya mulai tersambung. Jadi Fallen adalah laki-laki yang malam itu membelanya dari pria hidung belang. Pantas saja suara laki-laki itu terdengar familiar.

"Oh." Alexa menutupi keterkejutannya sebaik mungkin, kemudian kembali naik ke kamarnya. Sedangkan Rafa hanya mengehembuskan napas, sebelum akhirnya memilih untuk belajar.

"Besok gue ada ujian," kata Rafa dalam hatinya.

Sampai di kamarnya, Alexa menghempaskan diri ke atas kasur. Mulai berpikir keras. Berusaha kembali mengingat-ingat kejadian yang menimpanya malam lalu.

Fallen? Jadi dia orangnya.

Alexa lantas mengangguk mantap. Pasti benar. Dia memang orangnya. Fallen Syahreza. Laki-laki yang menyelamatkannya dari pria di club waktu itu ternyata adalah teman satu sekolahnya. Kebetulan yang sedikit mengejutkan.

Masih tertanam jelas di kepala Alexa apa yang Fallen ucapkan malam itu.

"Mending lo pergi sekarang! Jangan pernah ganggu dia lagi, itu juga kalo lo masih mau hidup."

"Gue cowoknya, mau apa lo?"

Perempuan itu kemudian bergumam, "ah, jadi itu lo Fal?"

Sungguh sebuah takdir yang lucu ketika mereka dipertemukan kembali. Hal yang kemudian hari menjadi sesuatu yang sangat Alexa sesali.

***

180°Where stories live. Discover now