Chapter 29

540 57 6
                                    

Perempuan itu akhirnya duduk sambil meminum thai tea di tangannya dengan sedikit canggung. Di sampingnya, seorang cowok juga ikut duduk meskipun jarak mereka seperti orang yang sedang bermusuhan.

Tak ada yang berbicara di antara mereka. Keduanya diam, membiarkan keheningan menguasai mereka meski sekarang mereka berdua sedang berada di tengah-tengah keramaian. Saat ini, mereka sedang duduk di kursi yang berada di sekitar mall.

"Gue nggak punya waktu lama," Ficil memilih untuk bersuara duluan daripada Adrian. Ia tidak tahu apakah mengiyakan permintaan Adrian untuk mendengarkan apa yang ingin dibicarakan cowok itu adalah sebuah kebodohan atau memang keputusan yang tepat.

Tadi, ketika Adrian menahannya, ada desiran rasa rindu yang mengalir di sekujur tubuhnya. Ia seperti berhenti berlari ketika jarak yang sudah ia tempuh mencapai ribuan kilometer.

Ia ingin Adrian, tapi ia sudah yakin untuk menjauh. Ia berlari sekuatnya, dan ketika hanya beberapa langkah yang tersisa, cowok itu datang. Seolah menahannya pergi, menggoyahkan pendiriannya.

Adrian mengangkat kepalanya, menatap Ficil yang sama sekali membuang muka. "Gue nggak tahu lagi gimana caranya, tapi semoga lo nggak motong pembicaraan gue."

Ficil hanya bergeming. Adrian menghembuskan napasnya kasar. Ia sudah yakin. Ini kesempatan yang ia punya sebelum Ficil terbang ke Australia―yang bahkan Adrian tidak tahu kapan jam terbangnya.

"Gue tau rasanya di posisi lo. Rasanya ketika salah satu bagian penting di keluarga lo hilang bukan karena kesalahan lo. Gue ngerti," ujar Adrian lunak.

"Lo nggak pernah ngerti. Lo nggak pernah ngalamin itu," tukas Ficil tajam. Meski hatinya tak dapat menolak rasa yang bergejolak di dalam hatinya, tetapi ia tetap berusaha sekuat mungkin untuk tidak goyah karena keberadaan Adrian di sampingnya.

"Gue pernah, kok." Adrian tak lagi menatap ke Ficil, melainkan ke kerumunan orang yang sedang berjalan ke berbagai macam arah.

Sedangkan Ficil merasa tertarik, ia menatap cowok itu sambil menanti kelanjutannya.

"Gue ngalamin itu ketika bokap gue milih buat cerai sama nyokap. Katanya bokap minta cerai karena bokap gue percaya sama desas-desus kalau nyokap gue selingkuh. Gue nggak percaya, karena gue nggak pernah liat nyokap gue bawa cowok lain kalau bokap lagi pergi jauh. Gue kesel sekesel-keselnya, gue juga marah sama bokap lo," Adrian memulai ceritanya. Ficil tertegun. Namun ia hanya diam, membiarkan Adrian melanjutkan ceritanya.

"Gue marah sama bokap lo karena bokap lo nggak bisa mempertahankan perusahaan tanpa desas-desus hubungan pribadi yang jelas-jelas cuma bohong. Gue makin kesel waktu tau kalau ternyata bokap lo juga pindah. Gue kesel banget. Gue cari segala cara supaya bokap lo menderita. Kadang, gue samperin kantor bokap lo yang ada di sini. Gue teriak nggak jelas di depan kantor bokap lo, gue kirim paket yang isinya aneh-aneh, gue juga sempat bikin fitnah tentang bokap lo."

Ficil semakin terkejut mendengar cerita Adrian. Ia terus menatap Adrian. Meski itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, Ficil yakin mata Adrian yang hanya ia bisa lihat dari samping sedang menunjukkan penyesalan. Ficil tahu seharusnya ia marah ketika Adrian mengatakan bahwa cowok itu pernah membenci keluarganya, namun ia justru hanya mendengarkan. Ia seperti sedang bercermin terhadap dirinya yang penuh kebencian dan dendam.

"Sampai akhirnya, semua usaha sia-sia. Fitnah yang gue sebar, paket yang gue kirim, justru sempat jadi boomerang. Walaupun itu nggak lama, tapi gue ngerasain rasanya jadi yang terkucilkan. Gue justru ngerasain apa rasanya dicap sebagai penghancur rumah tangga orang padahal lo nggak ngelakuin itu sama sekali. Gue akhirnya tau, dendam yang gue punya itu sebenernya cuma buang-buang tenaga gue. Gue akhirnya tau, disalahin padahal lo nggak salah itu nggak enak. Gue pernah di posisi lo juga. Makanya, gue suruh lo berhenti. Lo cuma buang-buang tenaga lo, Fi." Adrian akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Ficil yang sedari tadi terus memandangnya.

Tangan Ficil langsung melihatkan urat-uratnya. Gelas thai tea yang ada di tangannya sedikit lagi akan hancur akibat tangannya itu. Semua ucapan Adrian yang masuk ke telinganya seolah menusuknya pada tempat yang tepat.

"Kita sama. Gue tau rasanya jadi lo. Gue tau lo pasti kesel. Gue tau," ujar Adrian.

"Lo nggak tau, dan kita beda," masih dengan nada dinginnya, Ficil membalas ucapan Adrian. Meski di dalam hatinya membenarkan, namun egonya masih terlalu besar untuk menerima.

"Lo tau nggak sih, kalau seandainya gue masih dendam sampai sekarang bakal kayak apa jadinya?" tanya Adrian tiba-tiba, mengabaikan perkataan Ficil.

"Pasti banyak hal yang bakal nggak gue rasain. Gue nggak tau enaknya jadi anak SMA kebanyakan, gue nggak tau rasanya berantem sama Vigo, gue nggak tau..."

"gue nggak tau rasanya jatuh cinta sama lo." Adrian tersenyum, menatap Ficil. Sedangkan gadis itu hanya diam, sama sekali tak mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kepalanya sedang sibuk mencerna sebuah kalimat yang baru saja masuk ke dalam kepalanya. Ia bahkan bingung apakah harus menjawab kalimat tersebut atau hanya terus diam, mendengarkan.

"Karena kalau gue masih dendam sampai sekarang, gue pasti sibuk mikirin gimana caranya buat ngancurin orang. Gue nggak bakal buang waktu sama sohib gue, dan waktu gue buat lebih deket sama keluarga gue juga berkurang. Bahkan kalau gue dendam sampai sekarang, mungkin gue juga bakal benci sama lo."

"Lo kehilangan banyak hal yang menyenangkan ketika lo dendam," tambahnya. Ia menanti reaksi Ficil, namun gadis itu justru mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Perkataan Adrian benar-benar pas untuknya. Waktunya terbuang untuk menemukan Kiran, memikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap Kiran, sampai-sampai ia tak punya waktu untuk sahabat barunya―Fiya dan Gina. Ia justru membenci Vigo dengan bodohnya, dan menjauhi cowok yang sedang duduk di sampingnya itu padahal sudah jelas-jelas hatinya hanya terpatri untuk cowok itu.

Tanpa ia sadari, ia kehilangan banyak hal ketika ia sibuk balas dendam.

Balas dendam yang menguasai tubuhnya, mengendalikannya seolah jika ia berhasil, nyawa mamanya akan kembali.

Balas dendam hanya akan membuatnya bergantung pada masa lalu, melupakan bahwa banyak hal yang jauh lebih baik dari sekedar menebar benci.

Balas dendam membuatnya buta. Ia kalut dalam kebencian sehingga lupa bahwa semua orang peduli padanya.

"Gue harap lo mikirin hal ini. Jangan sampai lo kayak gue yang dulu. Gue nggak mau," Adrian berdiri, melangkah mendekati Ficil dan menepuk bahunya pelan.

"Gue cabut. Lo pasti nggak mau gue anter kan? Gue udah pesenin taksi buat lo. Bentar lagi taksinya dateng kok." Adrian akhirnya pergi, membiarkan Ficil bergerumul dalam pikirannya. Ficil menatap punggung itu menjauh, mulutnya tergerak, meski tidak begitu kentara dan tidak mengeluarkan suara.

"Makasih."

**

MistakesWo Geschichten leben. Entdecke jetzt