Chapter 18

804 71 9
                                    

Bugh!

Bunyi pukulan terhadap samsak terus mengisi ruangan olahraga di rumah Rian. Sudah sejam berlalu tetapi bunyi tersebut terus terdengar dan membuat ruangan olahraga yang sedang sepi menjadi semakin mencekam.

Bulir-bulir keringat sudah mengalir di pipi Adrian—cowok yang sedari tadi membuang-buang tenaga untuk samsak itu. Deru nafasnya dapat didengar oleh sahabatnya yang sedang berada di ruangan yang sama, beradu dengan bunyi samsak yang dipukul.

"Ad," Bima membuka suara. Berharap Adrian akan menghentikan tindakan bodohnya. Cowok yang biasanya paling aneh dan absurd ini sekarang juga tak banyak bicara. Penyebabnya tentu karena sahabatnya yang sedang gila ini.

Pulang sekolah tadi, Adrian sudah tampak tak baik. Walaupun wajahnya yang datar itu memang selalu terlihat, tetapi Bima, Vanno, dan Rian dapat mendeteksi kondisi terkini dari Adrian. Biasanya jika Adrian ditimpali pertanyaan, cowok itu akan menjawab dengan jawaban singkat nan menghibur. Tangannya yang jahil juga akan melayang pada tubuh cs-nya itu.

Tapi kali ini tidak.

Adrian lebih banyak diam.

Tatapan matanya kosong. Jika Bima menimpali candaan, ia hanya diam. Seolah-olah fungsi pendengarannya sedang terganggu. Mungkin fisik Adrian sedang berada di dekat mereka, tetapi raga cowok itu sedang terbang ke tempat yang lain.

"Yan, udah deh. Berhenti," pinta Bima dengan suara lemah. Tak tega melihat Adrian seperti itu.

Adrian tak menyahut. Ia terus saja memukul benda yang berada di depan pandangannya itu dengan penuh emosi. Pukulan yang ia layangkan semakin keras.

Vanno mengacak-acak rambutnya, putus asa. Jika dihitung berapa kali mereka meminta Adrian untuk berhenti, maka kalkulator Pukulan yang ia layangkan semakin keras.

Vanno mengacak-acak rambutnya, putus asa. Jika dihitung berapa kali mereka meminta Adrian untuk berhenti, maka kalkulator scientific-pun bakal rusak.

Rian yang awalnya sama sekali tidak mengeluarkan suara sejak kedatangan cowok itu ke rumahnya, akhirnya menyerah. Ia berdiri di dari treadmill yang tadi ia duduki. Kakinya melangkah menuju Adrian.

"Mending lo berhenti. Gue capek liatin lo gini terus daritadi," Rian menahan tangan Adrian yang siap memukuli samsak di depannya dengan tenaga yang semakin kuat. Suaranya terdengar sangat datar namun tegas.

Sadar gerakan tangannya dihalangi, Adrian menoleh. Suara Rian yang masuk ke telinganya membuat ia menjadi semakin marah.

Adrian melepaskan tangannya dari cengkraman Rian, menatap sahabatnya itu dengan tajam. Adrian tak perduli siapa yang di hadapannya sekarang, yang ia tahu ia sedang marah dan harus melampiaskannya sampai ia merasa puas.

"Kalo lo capek, lo mending pergi dari ruangan ini. Lo nggak harus liatin gue. Oh, lo takut gue ngerusak barang-barang di sini? Tenang, gue nggak bakal gue rusak, kok. Kalo rusak bakal gue ganti, sesuai request lo," tukas Adrian tenang, tapi terdengar sangat sinis. Matanya menyiratkan sesuatu yang sangat tidak bersahabat saat ini.

"CUMA GARA-GARA FICIL LO KAYAK GINI?" suara Rian tiba-tiba saja meninggi, mengalahkan suara samsak yang dipukul Adrian. Cowok itu menghentikan aktifitasnya, menatap Rian. Adrian benar-benar sudah kalap, ia bahkan lupa bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah sahabatnya.

Adrian melangkahkan kakinya mendekati Rian, memperpendek jarak mereka. Deru nafas mereka sama-sama tak teratur.

Kepalan di tangan Adrian semakin kuat, membuat urat-urat tangan cowok itu terlihat. Suara Rian yang menelusup ke telinganya membuat emosinya kian memuncak.

MistakesWhere stories live. Discover now