Chapter 17 (1)

745 84 12
                                    



"Eh, Adrian? Kok sekarang pulangnya cepat?" suara Kiran langsung masuk ke telinga Adrian ketika ia baru saja menapaki kakinya di rumah. Entah kenapa, Adrian sedikit merasa malas untuk berinteraksi dengan Kiran sejak ia mengaku bahwa ia merupakan seorang pembunuh.

Bukannya Adrian benci pada Mamanya sendiri, tapi ia masih belum bisa menerima realitanya.

"Guru rapat, bentar lagi ujian," jawab Adrian datar lalu langsung berjalan ke kamarnya tanpa berniat untuk menoleh pada Kiran sama sekali.

Kiran hanya tersenyum, tak mempermasalahkan hal itu. Bukannya ia mengabaikan sopan santun yang harus diajarkan kepada anaknya, tetapi ia mengerti bahwa Adrian butuh waktu.

"Mama sudah masak rendang kesukaan kamu, kalo kamu lapar makan aja."

Adrian menutup pintu kamarnya dan bertindak seolah-olah bahwa ia tidak mendengar ucapan Kiran. Ia menghempaskan dirinya ke kasur tanpa mengganti seragam sekolahnya terlebih dahulu. Pikirannya melayang saat kejadian tadi malam.

Adrian berguling-guling di atas kasurnya, merasa gelisah. Perkataan Vanno tadi sore seolah-olah memancingnya untuk tetap berjuang. Namun nyatanya sampai detik ini, ia bahkan belum menemukan jalan yang paling aman bagi dirinya, Ficil, dan tentu saja Mamanya.

Ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke taman belakang rumah yang terhubung dengan kamarnya, sekedar mencari udara segar untuk membuat pikiran dan hatinya sedikit lebih tenang.

Di ujung taman yang berseberangan dengan tempat ia duduk sekarang, ia melihat Vigo yang sedang berkutat dengan buku-buku soal. Saudara satu-satunya itu memang rajin dan pintar seperti dirinya, namun ia juga gaul dan humble.

Adrian berjalan ke arah Vigo dan menutup buku soal tersebut untuk menghentikan Vigo yang terlalu fokus sehingga tidak menyadari keberadaan dirinya.

"Anjir lo. Gue lagi semangat banget ini," rutuk Vigo ketika Adrian menutup buku yang sedang ia kerjakan.

Adrian menepuk pundak Vigo. "Istirahat dikitlah. Lo kan udah pinter, kasian anak kelas lo. Mereka juga pengen kali ngalahin lo."

Vigo mendengus. Ia melepaskan kacamatanya, keningnya berkerut, dan matanya menyipit. Ia menatap Adrian curiga. "Mau apa lo?"

"Lo nggak takut, Bang?"tanya Adrian. Raut wajahnya berubah menjadi serius. Matanya menatap langit, berharap langit akan memberinya jawaban. Angin sepoi-sepoi membuat rambutnya menjadi sedikit acak-acakan.

"Takut apa?" tanya Vigo balik. Ia sama sekali tak mengerti apa yang Adrian ingin bicarakan.

"Ini tentang Ficil."

Vigo menatap Adrian. Apa yang sedang dimaksudkan oleh adiknya? Apa jangan-jangan Adrian tahu tentang perasaannya terhadap Ficil? Tapi, darimana Adrian tahu? Vigo bahkan belum bercerita pada siapapun.

"Apa sih?" tanya Vigo lagi.

Adrian menatap Vigo, lalu mengembalikan pandangannya ke langit lagi. "Lo nggak tahu atau pura-pura nggak tahu sih? Ficil lagi nyari pembunuh Nyokapnya dia," jelas Adrian akhirnya.

Vigo yang tadi sedang minum, langsung menatap Adrian minta penjelasan lebih lanjut. "Maksud lo dia lagi nyari Nyokap kita?" tanya Vigo sedikit kaget.

Adrian mengangguk. Tapi kemudian dia heran, kenapa Vigo tak mengetahui hal ini? Dan kenapa Vigo juga mengetahui fakta bahwa Mama mereka yang membunuh Mama Ficil?

"Ficil nggak cerita sama lo tentang dia bakal balas dendam? Dan, kok lo tau kalo Nyokap bunuh Nyokap Ficil?"

Vigo menyeruput coklat panasnya, lalu ikut-ikutan menatap langit. "Itu udah cerita lama. Tapi, Ficil nggak pernah cerita soal itu. Dia nggak pernah bahas itu sejak ketemu sama gue lagi," jelas Vigo santai. Di dalam hati, cowok itu berpikir, berapa banyak hal yang telah diceritakan Ficil pada adiknya? Siapa yang dianggap oleh Ficil sebagai sahabatnya sekarang? Adrian? Atau masih dirinya?

MistakesWhere stories live. Discover now