Chapter 2

2K 333 21
                                    


Sebelum Papanya pulang, Ficil memutuskan untuk mencari tau bagian masa lalu yang merenggut separuh kebahagiaannya. Kakinya lalu melangkah ke ruang kerja papanya, berharap menemukan sesuatu di sana. Beberapa laci dari meja Papanya telah digeledah, namun ia belum menemukan apapun.

"Papa gak nyimpan apa-apa dari Mama, ya?" Tanyanya lebih kepada diri sendiri. Tangannya terus bergerak membongkar dan menyusun kembali semua yang telah digeledahnya.

Secara tak sengaja matanya menatap kotak biru langit dengan glitter yang masih saja awet, seperti baru. Kotak itu terletak di lemari dokumen Papa yang paling atas dan diapit dokumen lama Papa.

Dengan bantuan kursi, Ficil bisa meraih kotak tersebut tanpa merusaknya sedikit pun. Dengan rasa penasaran, ia membuka kotak tersebut dan berisi diary. Diary tersebut desainnya sama dengan kotak biru yang sangat glittery.

"Ini diary Mama, kan? Eh, kalo diary orang yang udah meninggal boleh gak, ya? Boleh pasti, kan ini demi balas dendam," Ujarnya kepada dirinya sendiri.

Lembaran kesedihan, pintu utama diary

13 Desember, 2013

Sahabat adalah seseorang yang seharusnya selalu ada ketika yang lain entah kemana.

Sahabat, bukan seseorang yang akan menghancurkan keping-keping hati yang sudah sangat hancur menjadi tambah hancur. Sahabat seharusnya berusaha membangun hati yang lain walau tak mungkin kembali utuh.

Dia, pengkhianat. Berusaha mengambil hatinya dariku. Cukup. Aku lebih tenang sendiri.

Rena.

"Mama..." Ujar Ficil dengan suara bergetar. Ia membayangkan wajah Mamanya yang selalu ceria di hadapannya, yang tak pernah menunjukkan kesedihan dan kepenatannya sedikit pun.

Ficil lalu menutup diary tersebut dan mencatat dalam sebuah catatan kecilnya, untuk mengingat sesuatu, jaga-jaga kalau nanti dia akan lupa.

Clue1: Mantan sahabat Mama, bersangkutan dengan pemiliki hati'nya'. Siapa 'nya'?

Begitu catat gadis itu di memonya. Lalu ia buru-buru meninggalkan ruang kerja Papanya setelah merapikan semuanya. Ia membawa diary tersebut ke kamarnya.

***

Adrian mengetukkan jarinya di dagunya, sambil menatap langit-langit kamarnya. Entah kenapa, ia merasa penasaran dengan kehidupan Ficil, anak baru di kelasnya. Ia merasa, Ficil selalu memakai topeng ketika di sekolah. Ficil selalu bercerita tentang keluarganya yang sangat bahagia, Mamanya yang selalu menyiapkannya sarapan dan makan malam setiap harinya. "Padahal 'kan, Mamanya udah meninggal," Ujar Adrian kepada dirinya sendiri.

Ada satu hal yang aneh terhadap Ficil ketika ia bercerita tentang Mamanya. Ia akan menatap mata temannya dalam-dalam dan tak dapat diartikan. "Horor gue sama dia,"

Duar!

Pintu kamarnya tiba-tiba dibanting oleh Kakaknya, Vigo yang membuatnya terperanjat dan berhenti berpikir. "Kurang ajar lu, kak, masuk-masuk banting kamar orang. Lu gak khawatir apa kalo gua jantungan?" Omelnya ketika melihat wajah Vigo yang sama sekali tak merasa bersalah tersebut. Vigo lalu duduk di samping adiknya dan menunjukkan gigi-giginya yang rapi, "Maaf, dek. Gue gak sengaja,"

Adrian mendengus. "Gue baru tau kalo banting pintu itu ada gak sengajanya. Gue rasa itu kebiasaan, deh."

Vigo lalu menjetikkan jarinya dan tersenyum, "Nah, itu lo tau. Lo memang pinter ye," Ujarnya sambik mengacak-acak rambut Adrian. "Kak, rambut gue, please. Berasa jadi anak cewek gue kalo diacak gini rambutnya." protes Adrian.

"Lagian lo juga, malam minggu gini enaknya main PS, lah elo? Gue buka pintu pelan-pelan tadi, lo malah termenung dan ngomong sendiri." Balas Vigo.

"Lo udah punya target,ya?" Selidik Vigo. Adrian yang dikatakan seperti itu pun langsung memukul lengan kakaknya. "Enak aja. Gue gak punya target apa pun. Kecuali nilai,"

"Lah? Terus apaan, dong? Lo mikirin cowok, Yan? Astaga, apa jangan-jangan lo gak nor—"

"Stop talking like that. Gue gak pernah pacaran bukan berarti gue gak normal. Belum ada yang cocok. Lagian yang gue pikirin itu memang cewek, bukan cowok."

Vigo tersenyum jahil kepada Adrian. Sepertinya Adrian salah ngomong. "Emang kenapa cewek yang ada di pikiran lo? Cantik ya?" Godanya.

"Bukan, ish. Apaan, sih?! Cewek itu dia anak baru di sekolah gue. Nah, ada yang aneh sama dia. Dia selalu bahagia di depan teman-temannya ketika dia cerita keluarganya, apalagi Mamanya. Padahal Mamanya kan udah meninggal," Terang Adrian.

Vigo mengangguk-angguk. "Namanya siapa, sih? Keren tuh orang kayak gitu. Selalu berusaha bahagia walaupun udah ada yang kurang. Eh, btw, namanya siapa? Gue pengen cari sosmednya, nih. Gue yakin, dia itu cantik." Ujar Vigo menghayal.

Adrian lalu menjitak kepalanya. "Kak, lo itu udah punya pacar, sadar dikit napa."

"Iye, gue tau. Tapi itu cewek mana tau ntar jadi adik ipar gue. Makanya gue harus pastiin dulu semuanya. Namanya siapa?" Tanya Vigo lagi. Adrian mendengus. Kakaknya memang suka begitu kalau ada cewek yang sering diperbincangkan temannya atau pun yang ia ceritakan. Itu menyebalkan.

"Namanya, Ficilia Andromeda." Ujar Adrian malas. Tangan Vigo yang sudah siap mengetikkan namanya di Iphonenya berhenti tiba-tiba. Matanya menatap dalam Adrian berharap ia salah dalam menyebutkan namanya. Tubuhnya tiba-tiba menegang. "Dek.. Lo.. Serius?" tanyanya memastikan. Adrian mengangguk. "Emangnya kenapa?"

***

Dedicate to : anggidw

MistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang