Chapter 19

720 74 6
                                    

P.S: YANG DI MULMED BUKAN ADRIAN YA! Itu cuma penggambaran suasana ajaa.

Benar-benar putus.

Ini hari ke delapan, dan masih seperti itu.

Sejak kejadian di taman belakang sekolah itu, mereka sama-sama menciptakan jarak.

Tak lagi ada yang memberikan bahunya sebagai sandaran, dan tak ada pula yang bercerita tentang isi hatinya.

Mereka berdua seperti orang yang tak pernah kenal satu sama lain. Mereka benar-benar menyibukkan diri dengan urusan mereka masing-masing.

Mereka tertawa, seolah-olah mereka benar-benar menikmati hidupnya. Seolah-olah hidup mereka benar-benar indah dan sempurna, tak ada hal yang perlu mereka tangisi.

Namun sebenarnya mereka sama-sama menyimpan luka.

Mereka menutup rasa sakit tersebut dengan sangat apik sehingga tak ada yang tahu. 

Tetapi hal itu jugalah yang membuat luka mereka semakin terkoyak.

Mereka seperti menusukkan pedang ke dalam dada mereka sendiri.

Tapi ada hal yang lebih mengejutkan.

Hari ini, tepat setelah sekolah usai, Ficil meminta Adrian untuk menemuinya di atap sekolah.

Adrian yang mendapat kabar tersebut melalui Vanno, merespon dengan sedikit tidak percaya. Setelah berkali-kali bertanya—saking tidak percayanya—sehingga membuat sahabat-sahabatnya menjadi kesal menanggapi pertanyaan Adrian yang sama.

"Lo seriusan?"

"Bukan orang lain kan?"

"Ini bukan rencana picik lo kan?"

"Kalo bohong ini nggak lucu."

Vanno, Bima, dan Rian menghembuskan nafas mereka, jengah melihat tingkah Adrian yang tak seperti biasanya.

"Lo kenapa jadi bawel banget sih? Gue nggak bohong, Yan! Ini beneran! Elah, lagian lo nggak lagi ulang tahun sekarang. Nggak mungkin kita ngerjain lo," jelas Bima-entah untuk yang keberapa kalinya.

Adrian tersenyum lebar, benar-benar lebar sampai sahabatnya pun bingung. Apakah nama Ficil benar-benar memiliki pengaruh yang begitu hebat pada Adrian?

Adrian kemudian menepuk pundak Bima, lalu mengemas bukunya.

Semoga sesuatu yang baik hari ini terjadi, batinnya. Ia menyampirkan tas di kedua bahunya dan melangkah dengan jantung yang berdegup kencang. Setiap tempat di sekolah yang Adrian lalui, tak sedikitpun senyumannya menjadi pudar. Hal itu membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menjadi bingung.

Tapi, Adrian benar-benar tak peduli. Hanya Ficil yang berada di dalam kepalanya sekarang.

Gadis itu kembali. 

Namun, itu hanya menurutnya saja.

Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?

**

Ficil menanti Adrian dengan gugup. Ia meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa ini adalah keputusan yang tepat ketika ragu terus menyinggahi hatinya.

Ia meniup-niup tangannya, walau sebenarnya cuaca hari ini sangatlah cerah. Tangannya yang dingin dan jantungnya yang berdegup kencang membuat dia harus menghangatkan dirinya.

Ficil sesekali menatap ke arah pintu yang menghubungkan tangga terkahir dengan atap sekolah. Menanti-nanti lawan bicaranya. Tiap kali ia melihat ke arah pintu itu, ia akan langsung mengganti fokusnya secepat mungkin.

MistakesOnde histórias criam vida. Descubra agora