Chapter 10

1.2K 165 13
                                    

Ficil ingat dengan jelas, bagaimana Adrian dengan mudahnya mengikrarkan janji dengannya.

"Lo? Percaya sama gue? Kenapa?" tanya Ficil kaget.

Adrian menarik nafas sejenak, lalu menghembuskannya kembali. Matanya terpejam sesaat, menikmati angin yang sepoi-sepoi. Ia sedang berusaha mencari kalimat yang tepat untuk diutarakan.

"Lo pernah gak, punya sahabat, sebelum lo sekolah di sini?" tanya Adrian.

Ficil bingung, tapi ia tetap saja menjawab. "Pernah."

Adrian menatap Ficil dalam. "Kenapa lo sahabatan sama dia? Kenapa gak sama yang lain aja?"

"Karena gue merasa cocok. Walaupun diantara kami banyak perbedaan, tapi gue merasa dia bisa dipercaya," jelas Ficil. Kerutan di keningnya semakin bertambah.

Adrian menjentikkan jarinya, tersenyum. "Nah, itu dia maksud gue. Gue merasa lo bisa dipercaya sebagai sahabat," jawab Adrian. Well, kalimat ini entah kenapa Adrian rasa setengah rekayasa dan setengah kenyataan.

"Sahabat?" tanya Ficil.

"Ya. Lo mau kan jadi sahabat gue?"

Ficil hanya diam tak percaya. Kenapa waktu terasa begitu mempercepat sebuah proses persahabatan di antara mereka? Bukankah 1 bulan yang lalu Adrian tak suka padanya?

"Hhmm.." gumam Ficil. Sebenarnya, ia bingung harus menjawab seperti apa.

Tiba-tiba saja Adrian mengangkat salah satu tangannya, dan mengikat jari kelingkingnya dan kelingking Ficil.

Adrian tersenyum lebar. "Gue sahabat lo, dan lo adalah sahabat gue,"

Ah, kejadian di atap sekolah itu membuat Ficil merasa deja vu. Kepalanya kembali memutar memori lama tentang Allen, sahabat kecilnya yang sudah lama tak ia jumpai.

"Icil! Sini deh!" sorak anak kecil bernama Allen. Ia mengajak temannya untuk duduk di ayunan di sampingnya.

Icil pun menurut. Ia melangkahkan kaki kecilnya menuju ayunan.

"Ada apa sih, Allen?" tanya Icil dengan suaranya yang benar-benar menggemaskan bagi orang dewasa yang mendengarnya.

"Cil, kita itu kan sering ketemu. Trus masa kita mau temenan terus, sih? Kamu gak bosen apa?" tanya Allen.

Namun Ficil dengan polosnya menjawab, "Ya enggaklah. Temanan itu kan keren, Len. Kemana-kemana barengan,"

Allen menggaruk-garuk kepalanya. "Icil, kalo kemana-mana bareng itu namanya sahabatan, kata kakak sepupu aku, kalo temenan gak sedeket itu," jelas Allen.

Icil hanya mengangguk-angguk. Antara mengerti dan bingung.

"Sahabat?" tanya Icil.

Allen mengangguk-angguk bersemangat. "Iya! Icil mau 'kan jadi sahabatnya Allen?"

Icil hanya diam. Gadis kecil itu sama sekali tak tau harus bagaimana. Defenisi sahabat saja belum terlalu menyatu dengan otaknya.

Tiba-tiba saja Allen mengangkat salah satu tangannya, dan mengikat jari kelingkingnya dan kelingking Icil.

Allen tersenyum lebar. "Allen sahabat Icil. Icil sahabat Allen,"

Pengikraran janji persahabatan itu Icil terima dengan senang hati. Walaupun ia tak begitu mengerti, menghabiskan waktu bersama Allen adalah hal yang menyenangkan.

MistakesWhere stories live. Discover now