Chapter 27

531 51 7
                                    

Ficil turun dari lantai dua, setelah mendekam di kamarnya selama beberapa jam di hari libur pertamanya. Keningnya seketika mengernyit ketika mendapati bahwa Riko sedang menonton televisi dan tidak memakai jas kantornya.

"Nggak ngantor Pa?" tanya Ficil sambil menuruni anak tangga. Riko menoleh, lalu tersenyum dan menggeleng. "Males."

Ia mengangkat alisnya, tidak begitu percaya. Ia pun melangkah mendekati papanya, ikut duduk di sofa, lalu mendengus ketika ingat bahwa papanya itu merupakan seorang bos. "Ya deh. Bos kan enak, liburnya kapan-kapan mah juga bisa."

Riko terkekeh pelan. "Nah, itu tau."

Ficil hanya mendengus mendengar jawaban papanya. Kemudian, ia membaringkan tubuhnya dengan kepalanya yang berada di atas paha papanya.

"Pa?" Ficil memanggil papanya pelan, namun matanya mengarah ke televisi. "Hm?"

"Aku nggak tahu diri banget, ya," ucap Ficil. Ia tersenyum, tetapi matanya justru menyiratkan hal yang berlawanan.

Riko akhirnya mengalihkan pandangannya ke anak semata wayangnya itu. Tangannya bergerak menyentuh rambut-rambut Ficil. "Kok kamu ngomongnya gitu?"

"Aku sibuk nyari-nyari siapa yang bunuh Mama selama ini. Waktu aku tahu, ternyata itu mamanya Adrian. Aku bingung. Padahal aku benci banget sama Adrian karena aku yakin mama dia yang bunuh mama. Tapi nyatanya, mama yang salah. Adrian tahu cerita sebenarnya lebih dulu dari aku, tapi dia nggak pernah bener-bener benci sama aku. Justru dia yang kadang-kadang datang minta maaf. Vigo juga gitu. Dia udah tahu semuanya dari awal, tapi tetap aja dia ada terus di dekat aku. Dia nggak pernah marah atau jijik sama aku. Aku nggak tahu diri ya, Pa?" Ficil menatap Riko, menanti jawaban keluar dari mulut papanya itu.

Alis Riko terangkat sebelah, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Jadi, ini alasan kamu mau pindah?"

Rencana pindah sekolah bukanlah sebuah candaan. Sejak mengetahui kejadian itu, ia memilih untuk pindah. Ia semakin mantap ketika mengetahui bahwa Vigo dan Adrian kakak beradik, dan apalagi ketika Adrian bilang bahwa cowok itu punya perasaan khusus terhadapnya. Meski di dalam hatinya ia berharap Adrian akan mengulang pernyataan itu lagi kepadanya, namun ia berusaha berpikir bahwa Adrian hanya berusaha membuatnya merasa lebih baik.

Tak lebih.

Ficil mengangguk. "Aku ngerasa nggak tahu diri banget. Aku pengen berubah, Pa."

"Kamu udah bilang kan, sama mereka kalau kamu mau pindah?" tanya Riko yang membuat Ficil terdiam beberapa saat.

Seolah enggan menjawab, ia langsung mengalihkan pembicaraan dengan kertas yang berada di tangannya.

Kertas yang sama dengan Fiya temukan waktu itu di meja Ficil.

"Ini aku udah keterima di sana. Minggu depan aku bisa berangkat kalau urusan apartment aku di sana udah selesai. Papa bisa tolongin aku, kan?"

**

"Woy! Ngelamun mulu lo," Vigo menepuk bahu adiknya yang sibuk melamun tak jelas dekat kolam renang rumah mereka.

"Apasih lo ah," ujar Adrian kesal karena dikagetkan oleh Vigo.

"Tolongin gue kek. Dua minggu lagi gue mau ke Bandung. Jadi maba," ujar Vigo sambil mengangkat dagu dan salah satu alisnya, bermaksud menyombongkan status barunya pada adik satu-satunya itu.

"Elah, masih dua minggu juga."

"Yeee, dua minggu mah bentar begs. Daripada lo bengong gak jelas gitu mending bantuin gue juga. Lumayan, dapat pahala," Vigo merangkul bahu Adrian cukup kuat yang langsung sebisa mungkin ditepis Adrian.

Vigo pun terkekeh, lalu duduk di samping Adrian. "Mikirin Ficil kan?"

Adrian langsung menatap Vigo, tapi ia tidak membenarkan ataupun mengelak tentang hal yang baru saja abangnya itu tanyakan. Sedetik kemudian, ia memilih untuk membuang pandangan ke kolam di hadapannya.

"Emang lo nggak ngomong apa-apa gitu waktu nganterin dia gitu? Seharusnya lo udah baikan sama dia," ujar Vigo, yang kemudian juga memandang kolam setelah memandang Adrian untuk beberapa saat.

Seharusnya iya.

Namun Adrian urung membalas ucapan Vigo meski ia telah membatin. Dalam sekejap, keheningan langsung menguasai suasana di antara mereka berdua. Tak ada yang berbicara setelahnya, hanya sebuah dering ponsel Adrian yang membuat keheningan tersebut menjadi tersingkir.

Vanno

Adrian mendengus membaca nama tersebut, di dalam pikirannya ia menduga kalau bocah-bocah itu akan mengajaknya pergi liburan.

"Apaan?"

"Alah. Paling ini jebakan lo pada ya kan? Nggak mempan!" ujar Adrian lagi, setelah mendengar suara Vanno yang menurutnya sedang berusaha untuk sok serius dan menakut-nakutinya.

Baru setelah mendengar pernyataan Vanno yang berbicara dengan serius, akhirnya Adrian langsung memutus sambungan tersebut dan bergegas meninggalkan Vigo yang kebingungan.

**

"Lo yakin?" Gina menggerak-gerakkan tangan Fiya, berusaha untuk membatalkan niat mereka. Gina terlihat begitu cemas, sedangkan Fiya sudah sangat yakin terhadap apa yang akan ia sampaikan nanti.

"Apa alasan gue harus nggak yakin terhadap bukti ini?" Fiya balik bertanya sambil mengangkat ponselnya, karena Gina sudah berkali-kali menanyakan kesungguhannya.

"Duh, tapi gue―"

"Fiya! Kamu juga ajak mereka ini? Aduh, kenapa nggak aku aja sih?" suara Vanno yang terdengar dari arah pintu masuk restoran membuat kedua gadis itu spontan menoleh ke sumber suara. Di belakang Vanno, terdapat Bima dan Rian yang mengekor di belakang sambil cengengesan.

"Cepetan duduk!" perintah Fiya, tanpa membalas ucapan Vanno terlebih dahulu. Melihat nada dan raut wajah yang serius dari Fiya, ketiga cowok itupun langsung mengambil tempat duduk dengan kerutan di dahi mereka.

"Ada apa, sih?" tanya Bima penasaran sambil menatap Gina dan Fiya secara bergantian.

Fiya langsung menghidupkan ponselnya, lalu membuka galeri dan memilih salah satu foto dan menunjukkannnya kepada cowok-cowok yang sudah mati penasaran itu.

Mereka pun melihat foto tersebut. Bagi mereka, foto tersebut tak lebih dari sebuah print out email seseorang.

"Ini punya siapa, Ya?" tanya Vanno.

"Ficil."

"Maksud lo, Ficil bakal pindah dari sekolah kita?" tanya Rian tenang, namun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir, seperti menganalisa sesuatu.

"Gue yakin Adrian belum tahu tentang ini. Ficil juga nggak cerita apa-apa sama kita. Gue nemuin ini di atas meja belajarnya dia waktu ke rumah dia. Gue nggak tau alasannya apa, tapi gue rasa Adrian juga belum tau."

"Bentar," Vanno mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Ia kemudian memencet beberapa tombol yang membuatnya tersambung dengan seseorang. "Biar gue telpon Adrian dulu."

"Lo udah tau kalau Ficil bakal pindah sekolah ke Australia?"

"Alah. Paling ini jebakan lo pada ya kan? Nggak mempan!"

"Ya Allah. Ini gue serius! Fiya punya bukti email kalau Ficil udah keterima di salah satu sekolah di sana!"

Tut.. Tut... Tut...

**

A/N

Yipppppppppppppppppppppppppppppeeeeeeeeeeeeeeeeey!!!!!!!!

Oya, kemaren di part sebelumnya gue lupa bilang. SELAMAT BERPUASA BAGI YANG MENJALANKAN!

alhamdulillah ya, kali ini gue update nya gak telat-telat amat XD

See you in the next chapter!

Lots of love,

Afi

Jun 4, 2017

MistakesWhere stories live. Discover now