Chapter 22

603 68 6
                                    

Ficil akhirnya melepaskan kamera yang bergantung di lehernya. Setelah ujian selama seminggu yang melelahkan, ia harus kembali ke rutinitasnya; menjadi anggota klub fotografi dan bersiap-siap untuk pertandingan yang sudah di depan mata.

"Hari ini udah dulu ya," kata Rein, salah satu pelatih fotografi. Ficil dan anggota lainnya mengangguk, lalu pamit satu sama lain dan membubarkan diri.

Ficil mengambil tas yang terletak di kursi di tepi lapangan. Ponselnya yang tiba-tiba menyala karena ada notifikasi yang masuk membuat kegiatannya berberes-beres menjadi terhenti.

Vigo Vallen: Lo selesai latihan jam berapa? Gue jemput?

Ficillia Andromeda: Baru aja selesai nih. GPL!

Ficil meletakkan ponselnya kembali dan memasukkan air minum dan kameranya ke dalam tas. Setelah itu, ia berpamitan lagi pada teman-temannya dan pergi ke depan sekolah untuk menunggu Vigo yang akan menjemputnya.

**

"Lo mau cari apa, sih?" tanya Vigo setengah kesal lantaran perempuan yang di sampingnya sedari tadi hanya mengajaknya mengitari mall tanpa membeli sesuatu. Seharusnya mereka sekarang sudah sampai di rumah masing-masing, tapi Ficil berkata bahwa ia ingin membeli sesuatu dulu sebelum pulang.

"Iiih... gue liat dulu," jawabnya tanpa menoleh ke arah Vigo. Matanya menebar pandangan ke seluruh arah mall. Sebenarnya, ia tak ingin membeli apa pun. Ia hanya malas pulang ke rumah, dan juga ingin memberikan dirinya sedikit ketenangan setelah beberapa kejadian yang menghampiri dirinya belakangan.

"Eh! Masuk sana yuk!" ajaknya sambil menunjuk ke arah toko yang menjual berbagai macam kosmetik. Ia menarik Vigo tanpa menunggu persetujuan dari cowok itu terlebih dahulu.

"Ampun deh gue sama lo, Cil."

Ficil tidak menghiraukan Vigo. Ia mengelilingi toko tersebut dan melihat-lihat produk-produk kecantikan yang sepertinya baru datang. Sesekali ia mengambil barang tersebut, membukanya, lalu meletakkannya kembali ke etalase.

Ia kemudian kembali ke dekat pintu toko, tempat Vigo menunggunya dengan cemberut. Ia lalu menggamit tangan Vigo dan menyandarkan kepalanya di atas bahu Vigo.

"Gak ada yang bagus. Mbak-mbaknya garang-garang, kayak kucing garong lagi," celotehnya. Sebenarnya, bukan tanpa alasan ia mengajak Vigo untuk berkeliling mall selama berjam-jam seperti ini. Ia ingin, jika frekuensi waktunya bersama Vigo semakin banyak, hatinya akan jatuh pada sahabatnya itu sendiri.

Bukan pada Adrian.

Cowok yang telah ia jauhi selama seminggu itu masih saja memenuhi pikirannya. Bagaimanapun, kondisi mereka yang berada dalam kelas yang sama membuat ia tak bisa untuk benar-benar menghindari cowok itu.

Berkali-kali ia meyakinkan pada dirinya bahwa cowok yang ia sukai itu adalah anak musuhnya sendiri, namun hatinya seolah enggan untuk berpindah.

"Aduh, Cil! Lo sumpah ya! Lo mau beli apa, sih? Tadi ke toko kosmetik lo nggak jadi beli. Habis itu lo ke toko sepatu, juga nggak ada yang bagus. Terus lo ke toko baju, lo bilang bajunya norak-norak. Habis itu lo ajak gue ke toko hp buat lihat case, tapi lo bilang nggak ada yang kekinian. Ini udah lima jam, Ficil," protes Vigo pada akhirnya yang benar-benar lelah menuruti kemauan Ficil yang sama sekali tidak jelas.

Ficil mengangkat kepalanya dari pundak Vigo, lalu kedua tangannya terangkat untuk menarik ujung-ujung bibir Vigo yang melengkung ke bawah karena ulahnya. Lalu ia mencubit-cubit pipi Vigo dengan gemas, seperti anak kecil.

"Lo ganteng kalo kayak gini. Aduh duh, lucu sekali adik ini," ujarnya lalu tertawa.

Kalo hati gue boleh milih, gue bakal pilih lo Len. Bukan Adrian.

MistakesOnde histórias criam vida. Descubra agora