Aku tersandung lalu terjatuh. Tanganku mendarat tepat di cangkang moluska yang terselip di antara pasir-pasir.
"NATA! Tangan kamu berdarah!"
Pak Dirga menghampiriku. Ia menaruh kameranya.
"Bawa obat ga?"
"Ada, tuh, di tas." Aku menunjuk ke arah tasku yang kutinggalkan tak jauh dari situ.
Pak Dirga dengan cekatan mengobati tanganku.
"Kasih plester aja, Pa." kataku.
"Nanti. Obatnya tunggu kering dulu."
Pak Dirga memegang tanganku lalu meniupinya.
"Gak usah ditiupin juga kali."
"Ih, kan, biar ga perih." Pak Dirga tersenyum.
Bapa tau gak? Senyum Bapa udah bikin jantung saya berhenti sepersekian detik.
Setelah tanganku diberi plester, aku segera membereskan barang dan mengambil kameraku.
"Kamu mau ke mana?" tanya Pak Dirga.
"Kan, mau foto sunset."
"Tangan kamu lagi perih gitu gimana mau megang kamera?"
Aku menggerak-gerakkan tanganku, masih terasa perih.
"Gini, deh. Saya fotoin gimana?"
"Emang bisa?"
"Oh, meragukan kemampuan saya, ya? Kamu tunggu sini." Pak Dirga mengalungkan tali kameraku ke lehernya dan segera mencari angle yang bagus.
Yah, kok, malah dia yang fotoin, sih? Padahal, kan, mau nunjukkin fotonya ke Mama sama Kak Nes.
Jadi inget Papa. Dulu tiap pergi ke mana pun, aku dan Papa selalu menyempatkan diri untuk mengabadikan sunset-nya. Huh.
"Nih, bagus, gak?" Pak Dirga menyodorkan kamera padaku.
'GILEEEEE BAGUSSS BANGEETTTTTT!!!! DIEM-DIEM BERBAKAT NI ORANG!!!!' batinku.
"Jangan senyum-senyum doang. Bagus gak, nih?"
"Biasa aja sih. Ini kamera papa saya, sih, jadi bagus."
"Udah difotoin, kok, gitu, sih?" Pak Dirga menyenggol sikutku sambil cemberut --ngambek-ngambek ngegemesin gitu--.
"Iya, deh, bagus. Makas--"
"STTTTTT." Pak Dirga menempelkan telunjuknya di bibirku.
"Anggap aja sebagai permintaan maaf saya." lanjutnya.
"Terserah."
Aku menatap inspirasiku, matahari, yang sudah menyelesaikan tugasnya hari itu. Aku meluruskan kakiku, berusaha bersantai---
YOU ARE READING
NADA NADIku 2
Teen Fiction(#64 dalam #putus, 11/05/2018) (COMPLETED) Satu dua hari, satu dua minggu, satu dua bulan, kalender menunjukkan langkah kita. Kita memang berjalan bersama, namun ingatkah dirimu akan masa depanmu? Cita-citamu? Kutaruh kunci hatiku padamu, percaya...