DUAPULUHTIGA - ANAJEB

147 17 0
                                    


Mentari, terimakasih. Sinarmu menghangatkan.

Kehilangan memang, namun apakah harus terus dalam kesedihan?

Tok... Tok... Tok...

"Rel, keluar, yuk... Ada Fio, Meli, Stef, sama Dito."

Tak ada jawaban.

Terpukul. Mungkin ini yang mengurung Darrel dalam pikirannya. Papanya meninggal, tepat 7 menit setelah papaku.

Rel, kita sama-sama kehilangan. Kita sama-sama bisa lewatin ini.

"Belum mau keluar, ya? Ya, sudah... Makasih, ya, kalian udah mau dateng ke sini." kata Tante Lita masih berduka, 

"Turut berduka cita, ya, Tante, sekali lagi. Kami pulang dulu." kata Fio sambil berkemas.

Aku mengantar mereka keluar rumah Darrel. Tante Lita masih duduk, berharap Darrel mau keluar kamarnya.

"Nak Natalia pulang saja. Kasian kamu dari tadi. Maafin Darrel, ya, Nak..." Tante Lita mengelus-ngelus pundakku.

"Nata akan bantu Tante supaya Darrel mau keluar." aku tersenyum padanya.

"Makasih, ya, Nak. Seandainya Darrel sekuat kamu..."

Aku kembali mengetuk kamar Darrel. Jam menunjukkan pukul 3 sore.

"Rel, keluar, yuk... Lu belum makan dari kemaren... Temen-temen yang laen juga udah pulang..."

Aku tak menyerah. Walau pikiranku mulai berpikir bahwa ini sia-sia, rasa sayang ini selalu meneguhkan. Jam menunjukkan pukul 6 sore.

Aku terduduk di depan pintu kamar Darrel.

Kriettt... 

"Re... Rel!"

Aku segera memeluk Darrel. Ia tak membalas pelukanku. Aku memegang tangannya yang dingin dan menuntunnya menuju ruang makan. Tante Lita sedang pergi ke rumah saudaranya.

Aku mengambil sedikit nasi dari rice cooker, menuangkan kuah sayur sop yang hangat, dan sepotong ayam goreng ke piring Darrel. 

Darrel hanya diam, menatap makanannya.

"Jadi gue harus suapin?"

Baru aku mau menyuapinya, Darrel memegang tanganku, meletakkan sendoknya kembali ke piring.

"Makasih, Ta, udah segini pedulinya sama gue." tatapan mata yang sayu itu bertemu dengan mataku.

"Ini memang yang seharusnya gue lakuin, kan... Masa anak gajah ga makan seharian?"

Kami berdua tertawa. Tawa itu Darrel. Tawa itu yang selalu aku nantikan.

"Ta, ikut gue, yuk..." Darrel menggandeng tanganku, berusaha mengajakku ke suatu tempat

"Eits, eits, eits. Ga ada yang ke mana-mana sampai makanannya habis." aku menarik Darrel untuk kembali duduk.

"Iya, deh, Bu..." Darrel mengacak-ngacak rambutku.

Aku melihat Darrel makan dengan sangat lahap. Pura-pura mogok keluar kamar sampe mogok makan, emang tahan? Ketauan, kan!

"Lu mo ngajak gue ke mana?"

Tanpa menjawab, Darrel langsung menggandengku ke tempat yang ia maksud.

Eh, tunggu, ini ruangan khususnya... Om Ricky, Papa Darrel.

"Ini kamar papa gue..."

"Sudah kuduga."

"Tau dari?"

"Poster Yovie and Nuno everywhere. Lu jadi suka juga karna papa lu, kan?"

"Tau aja, sih!"

"Terus kenapa lu ajak gue ke sini?"

Darrel mengambil sebuah bejana kecil dari tanah liat. Terlihat berdebu dan tak terawat.

"Ini hasil karya gue yang pertama waktu TK. Waktu itu ada lomba. Tiap anak harus dibantu orang tuanya. Gue bikin ini dibantu sama Papa, dan... Menang."

Darrel memberiku bejana itu.

Darrel ♥ Papa

"Kenangan tinggal kenangan."

"Tapi kenangan akan jadi berharga kalo ada yang mengenangnya."

Aku tersenyum ke arah Darrel.

"Eh, Ta, ini udah malem. Lu ga pulang?"

"Gue pulang setelah Kak Nes pulang."

Tringgg... Tringgg... Tringgg...

"Ta... Bentar lagi Kak Nes nyampe rumah. Kaka jemput kamu di rumah Darrel, yak!"

"Oke, Kak."

Tut tut tut

"Bentar lagi Kak Nes ke... KECOA!"

"Kecoa? Maksud..."

Kecoa itu terbang ke arah kami.

"RELLL GIMANA INI?!"

PSHHHHHHH...

"Kan, udah dibilangin. Darrel sekarang mahir menggunakan obat semprot serangga."

"Haha. Ya udah. Gue ke depan, ya. By..."

PRANGGG....

Tanganku tak sengaja menyenggol... BEJANA MILIK DARREL.

"R... Rel... Pecah... Sorry..."

Darrel tetap diam.

Aku berjongkok, hendak memungut pecahan itu.

"Stop, Ta."

"Sorry, Rel. Biar gue yang beresin."

"GUE BILANG STOP!"

Darrel menatapku dengan penuh amarah.

"Rel, gue salah. Gue minta maaf, Rel."

"Keluar."

"Rel, ke... Kenapa..."

"KELUAR, TA. KELUAR!"

Darrel menunjuk ke arah pintu.

Aku masih diam. Tak percaya apa yang telah kudengar.

"LU NGANCURIN KENANGAN GUE SAMA PAPA GUE DAN LU MINTA MAAF SEGAMPANG ITU?"

Darrel mengepalkan tangannya dengan saat keras.

"Lu... Lu bukan Darrel yang gue kenal."

Aku berlari keluar dari rumah Darrel. Kak Nes sudah menungguku di pintu gerbang.

"Kak... Kak Nes..."

Aku memeluk Kak Nes. Tak terasa bahunya langsung basah dengan air mataku.

"Nata... Kamu kenap... Oke, kita pulang sekarang."

NADA NADIku 2Where stories live. Discover now