DUA - LESEK

480 99 33
                                    


"Ta, tungguin bentar, gue mau ngumpulin catetan Mat dulu."

"Oke, Fi, gue tunggu di luar sama Meli."

"Taaa, itu, tuh, guru sejarah baru... Ganteng bingits, kyaaaa..."

Waktu mencatat jadwal pelajaran kemarin, aku memang menemukan nama guru baru. Aku pikir itu guru PLH. Ternyata, sejarah. Pelajaran favoritku. Pa Edi, guru sejarah kami yang dulu sudah pensiun. Menyedihkan. Dia guru favoritku, bahkan sudah aku anggap sebagai papa keduaku.

Perawakannya lumayan tinggi. Ia memakai kemeja kotak-kotak, dipadu dengan sweater  warna abu-abu, celana panjang warna coklat, dilengkapi dengan sepatu kets bertali. Namun ketika ia berbalik badan, AKU MENGENALINYA!

"Kamu, anak yang mabal kemarin itu, kan?"

"Emmm..."

"Udah, santai aja. Saya ga bakal lapor ke guru yang laen, kok."

"Ih, udah saling kenal, nih? Hai, Pak guru baru, nama saya Melinaaa..."

Meli mengulurkan tangannya, mengajak sang guru bersalaman.

"Nanti aja kenalannya. Kan, nanti juga saya masuk kelas kamu."

"Aduh, belum apa-apa udah aku-kamu... Kalo saya baper gimana, Pak?"

"Stttttt, ah, Mel. Tuh, Fio dah balik. Ayo ke kelas!"

Aku bergegas menuju ke kelas. Guru baru itu memperhatikanku sambil geleng-geleng kepala. Seakan-akan mengisyaratkan, 'Kutandai kau ya!'.

Bel segera berbunyi. Mengapa harus berbunyi, sih? Aku masih mau istirahat.

Tak diduga, pelajaran selanjutnya adalah Sejarah. Guru baru itu masuk. Murid-murid cewek memperhatikannya dengan mata berbinar-binar seakan-akan terpesona dan jatuh hati pada pandangan pertama. Beberapa dari mereka sampai mimisan dan kejang-kejang. Oke. Itu terlalu berlebihan.

Dirga Anggara Putra,
Lulusan jurusan ilmu sejarah dengan IPK 3,8,
Belum ada pengalaman mengajar sebelumnya,
Hobi main gitar,

"Kamu nyatet biodata saya?"

Tiba-tiba Pak Dirga ada di depan mejaku dan menatapku.

Aku juga melihat buku catatanku yang penuh dengan biodatanya.

"Saya gak tahu, Pak. Tangan saya gerak sendiri!"

Satu kelas pun tertawa terbahak-bahak. Bahkan beberapa temanku menyoraki, 'Nata PEA! Nata PEA!'.

Pak Dirga melanjutkan bahasannya.

"Ngomong-ngomong soal sejarah, coba kalian bayangkan. Waktu itu Soekarno, kan, disuruh nyusun teks proklamasi di rumahnya Laksamana Maeda, seandainya waktu itu dia mabal, mungkin sampe sekarang kita belum merdeka."

"Hah? Apaan tiba-tiba mabal, Pak?" tanya seorang temanku.

"Mabal itu, kan, maksudnya kabur, menghindar dari tugas yang harus kita lakukan. Nah, saya punya pengalaman dalam menghadapi orang yang mabal. Waktu itu, kan, orangnya lagi mabal di rooftop... Ya... Saya kunci aja pintu rooftop-nya, biar dia ga bisa balik."

"MAKSUD BA..."

TEEETTT... TEEETTT... TEEEEEETTTTTT...

Ucapanku terpotong bunyi bel pergantian pelajaran. Pak Dirga segera membawa bukunya lalu meninggalkan kelas. Aku tak tinggal diam, aku segera mengejarnya.

"PA DIRGA!"

Ia menghentikan langkahnya dan berbalik badan.

"Ada apa Natalia Tanusaputra?"

"Jadi Bapa yang ngunciin saya sama Darrel di rooftop kemarin?"

"Tepat sekali kamu."

"Bapa gak tau, ya?! Saya kemarin baru bisa pulang jam 3 sore gara-gara Bapa!"

"Ya sudah, maaf."

"Ga bisa dimaafkan segampang itu, Pa!"

"Ga dimaafkan juga gapapa, sih. Paling saya tinggal lapor ke kepsek kemarin ada siswa yang mabal sama pacarnya di rooftop."

"Taaa... Ta... Tapi, Pak..."

"Udah, saya harus ngajar di kelas 9A."

Dia pergi meninggalkanku begitu saja dengan rasa kesal dan cemas bercampur menjadi satu. First impression yang buruk!

NADA NADIku 2Where stories live. Discover now