part-2

2.4K 69 0
                                    

8 hari yang lalu.

Pagi itu, tepatnya pukul 07:30. Dengan langkah kakiku yang pelan, menuruni satu demi satu anak tangga. Suasana rumah yang saat itu cukup sepi seakan tak berpenghuni, mendorongku untuk berjalan mengendap menuju pintu utama rumahku. Dengan pandangan yang tak lepas melirik kanan kiri layaknya seorang pencuri, sengaja aku lakukan hanya untuk memastikan bahwa di rumah memang tidak ada siapa-siapa, termasuk Bunda. Tangan kananku berusaha meraih gagang pintu, rasa was-was dan bahagia bercampur aduk, hati sudah tak sabar untuk segera berlari bebas di luar sana.

“Oups,” keluhku kecewa.

Ternyata pintu terkunci, itu tandanya aku tidak bisa keluar rumah lewat pintu utama. Namun, harapan masih ada, aku kembali melangkahkan kaki menuju ke arah samping rumah, di sana terdapat pintu keluar juga. Setidaknya masih ada harapan untuk bisa keluar rumah. Tapi ternyata hasilnya sama saja, hingga akhirnya aku meluncur ke pintu belakang rumah yang ada di dapur, akses terakhir yang bisa kupilih untuk keluar rumah. Tapi tetap saja, aku tidak bisa keluar rumah. Semua pintu sudah terkunci rapat.

“Ahh ... sial,” keluhku kesal. “Aku benci!" omelku.

Sebuah langkah terdengar mendekat menghampiriku.

“Semua pintu dikunci sama Bunda, Neng,” ucap Minah pembantu di rumahku. “Bunda juga pesen, Neng Hanin nggak boleh keluar rumah” sambungnya.

“Akhh ...” teriakku kesal. Karena hari ini aku ingin sekali pergi kuliah, setelah hampir 1 minggu tidak masuk karena kondisi badanku yang sempat drop.

Di sebuah kamar yang sejak tiga tahun belakangan ini suasananya sangat berbeda dari kamar pada umumnya. Dimana terdapat sebuah tiang besi dengan botol infus yang masih menggantung, sebuah EKG perekam irama jantung berada tepat di dekat tiang infus, sebuah tabung oksigen pun menjadi pelengkap, sehingga membuat kamar ini benar-benar sama persis seperti sebuah kamar ICU di rumah sakit. Dengan adanya tempat tidur yang sering pasien ICU gunakan, membuat kamarku semakin mirip kamar ICU.

Brakkkk ... terdengar suara pintu yang dibanting keras, dilanjutkan dengan kedua tangan yang mengacak-acak satu demi satu barang-barang yang ada di kamar dengan penuh amarah. Suara tangisku memecah suasana hening di kamar. Entah rasa apa yang kini sedang berkecamuk di dalam hatiku, sedih, marah, kesal, kecewa semua seperti bercampur aduk. Sampai-sampai aku tidak mempedulikan kondisi kamarku, yang tadinya sangat rapih, kini menjadi tidak karuan. Seketika badan ini terasa lemas sampai membuatku jatuh terduduk di lantai. Lalu, aku senderkan tubuh ini di samping tempat tidur, dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi.

“Maafin Bunda, Sayang ...” terdengar suara Bunda.

Yang ternyata sudah berada di depan pintu kamarku sejak aku ngamuk-ngamuk tadi, sampai alat-alat medis yang ada di kamarku ini berantakan. Bunda berjalan mendekatiku yang masih menangis. Dengan tangan lembutnya Bunda mencoba menghapus tetesan air mata yang membasahi pipi, dan mencoba memelukku dengan pelukan hangatnya. Tanpa memperdulikan berapa banyak lagi uang yang harus Bunda keluarkan, untuk membeli alat-alat medis yang sudah pasti rusak oleh kemarahan ku.

“Bunda hanya ingin kamu baik-baik aja, Sayang ...” kata Bunda sambil mendekap tubuhku.

Tapi aku malah melepaskan dekapan Bunda, seakan-akan tak ingin tangan Bunda menyentuh tubuhku. Sambil menatap wajah Bunda dengan pandangan yang diselimuti rasa kesal.

“Tapi jangan kayak gini lagi, Bun! Hanin punya kehidupan sendiri,” kataku sedikit membentak Bunda sambil menangis.

“Bunda tau Sayang ... tapi kejadian kemarin cukup jadi pelajaran buat Bunda. Dan Bunda nggak mau kejadian seperti itu terulang lagi. Bunda nggak mau,” jawab Bunda sambil menangis memandang wajahku.

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang