“Bunda nggak pernah ngerti apa yang Hanin mau!"

“Kamu mau apa Sayang, kamu mau apa? Bilang sama Bunda! Biar Bunda tau apa yang kamu mau.” Tangis Bunda pecah, terlihat kesedihan yang begitu dalam yang sedang Bunda rasakan. “Apapun yang kamu mau akan Bunda kasih. Tapi Bunda mohon sama kamu untuk satu hal Sayang, tolong kali ini kamu dengerin Bunda! Bunda nggak mau kamu kenapa-napa.”

“Kenapa, Bun? Bunda takut? Bunda takut Hanin Anfal lagi, Bunda takut Hanin mati dan ninggalin Bunda dengan cepat, iya kan Bun? Iya kan!” bentak ku pada Bunda lepas kontrol, seakan-akan aku tidak sedang berhadapan dengan seorang ibu.

Bunda hanya menangis mendengar perkataan ku, yang mungkin sangat keterlaluan dan melukai perasaan Bunda. Sambil berusaha menghapus butiran air mata yang terus berjatuhan dari kelopak mata Bunda, dan membasahi pipinya tanpa bisa Bunda bendung.

“Hanin udah janji sama Bunda, Hanin pasti kuat. Mungkin karena kelalaian kemarin kondisi Hanin sempat drop, tapi Hanin janji semua itu nggak akan pernah terjadi lagi. Hanin pasti bisa kayak orang normal, Bun. Dan buktinya sampe saat ini Hanin masih bisa bertahan, kan Bun? Meski harus jauh dan tidak tergantung lagi sama semua alat-alat itu. Jadi Hanin mohon sama Bunda! Jangan perlakukan Hanin lagi kayak orang yang mau mati besok. Hanin bosen Bun, Hanin nggak kuat kalau harus kayak gini terus. Biarin Hanin bebas Bun, Hanin sakit bukan berarti lemah. Dan soal kematian. Bunda nggak usah takut, semua orang udah punya waktu yang pasti kapan dia akan mati!” lanjutku sambil berdiri dan mencoba untuk pergi.

Tangis Bunda semakin terdengar pilu. Tapi aku sama sekali tidak memperdulikan hal itu. Keegoisanku seakan-akan telah menutup mata hatiku. Bunda menangis pun, aku sama sekali tidak peduli. Namun, baru saja aku melangkahkan kaki, tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyerang bagian kepalaku. Sampai-sampai tubuh ini kehilangan keseimbangan untuk berdiri. Tubuh ini mendadak lemas dan langsung terhempas jatuh ke lantai. Bunda yang saat itu masih berada di dekatku langsung panik saat aku terjatuh.

“Astagfirullah ... Hanin!” Bunda langsung meraihku dan mengangkat kepalaku, lalu Bunda sandarkan di pangkuannya. Terlihat dari mimik wajah Bunda, beliau begitu panik melihat aku meringis kesakitan.

“Bunda ... Bunda ...” rengek ku. Rasanya aku ingin meminta tolong kepada Bunda, untuk membantuku menghilangkan rasa sakit di kepala ini.

“Kamu tahan ya, Sayang?” tanya Bunda panik, sambil meneteskan air mata.

“Kepala Hanin sakit, Bun ... sakit banget. Aaaaawww,” teriakku sambil menangis, karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit ini.

Mendengar itu Bunda semakin panik, apalagi dengan sikapku yang terus meremas bagian kepala sambil meronta-ronta, karena sudah tidak bisa mengontrol lagi rasa sakitnya. Semakin terlihat Bunda sangat cemas dengan keadaanku saat ini.

“Bunda panggil kak Hans ya Sayang, atau tante Dewi,” kata Bunda panik dan hendak beranjak pergi.

Namun, tanganku menarik tangan Bunda dan menggenggam tangan Bunda dengan erat bahkan mungkin sampai merah, karena tak tahan dengan rasa sakit yang menyerang kepala ini.

“Bunda ... jangan pergi, Bun! Jangan tinggalin Hanin!” pintaku sambil terus meringis.

“Iya Sayang, iya,” kata Bunda meyakinkanku sambil mengelus kepalaku. “Hans ... Dewi ...” teriak Bunda memanggil kak Hans dan tanteku, yang merupakan seorang dokter spesialis yang sudah menangani aku sejak lama.

“Kamu tahan ya Sayang,” kata Bunda menguatkan ku, dengan raut wajah cemasnya yang tidak bisa disembunyikan lagi.

Entah kenapa hati ini terasa sakit saat melihat Bunda menangis dan begitu panik dengan kondisiku. Dari tatapan matanya, aku bisa melihat betapa sayang dan khawatirnya Bunda padaku. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membentak Bunda tadi. Mungkin ini hukuman langsung dari Tuhan untukku. Rasa sakit ini tidak seberapa dibanding rasa sakit hati yang Bunda rasakan, dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut anaknya yang pembangkang ini.

“Hans ... Hans ... Dewi ...” teriak Bunda.

Tanpa terasa air mata ini menetes kembali, saat aku pandangi wajah Bunda yang begitu sedih. Rasa sakit di kepala ini sudah tidak ku perdulikan lagi, mataku hanya memandangi wajah panik Bunda. Seakan-akan aku tak rela melihat Bunda bersedih karena mengkhawatirkan ku seperti ini.

Tidak lama menunggu, tiba-tiba tubuhku ini sudah berada di atas tempat tidur, kondisiku saat itu mulai sadar tak sadar. Namun, telinga ini masih jelas mendengar suara kak Hans dan tante Dewi yang sedang sibuk menangani ku. Dengan sigap mereka langsung memeriksaku, kemudian menempelkan alat-alat medis untuk membantuku. Kak Hans memasang selang infus di tangan kiriku, dan tante Dewi memasang selang oksigen di hidungku. Di sela aktivitas kak Hans dan tante Dewi yang sedang berusaha memberikan penanganan terbaik untukku, aku masih mendengar suara tangis Bunda. Dan dengan pandangan yang mulai tidak jelas, aku menatap Bunda sambil melempar senyum untuk Bunda yang terlihat begitu sedih. Aku berharap senyumku ini bisa sedikit menenangkan hati Bunda. Dan setelah itu tiba-tiba tubuh ini terasa lemas, mata ini gelap, dan akhirnya aku hilang kesadaran.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISITahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon