Gurunya tertawa lagi. "Yang kedua adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan sihir dan mencegah pemakaian sihir yang melibatkan non-magus. Sejak Great War, sihir benar-benar dilindungi agar hanya orang-orang tertentu yang bisa menggunakannya, yaitu dari kalangan yang bisa dipercaya dan mereka disumpah untuk menggunakan kemampuannya untuk membantu bukan membunuh. Ini alasan mengapa sihir tidak lagi dikenal banyak orang."

"Apakah di zaman dulu orang-orang memakai sihir dengan terbuka?" tanya Illa antusias, dia tidak menyangka pelajaran ini bisa menarik.

"Tentu saja, kamu pikir piramida dibangun pakai apa?" Gadis itu mendengus melihat perubahan wajah Illa. "Banyak penciptaan benda-benda hebat di masa lalu melibatkan sihir. Legenda dan dongeng juga lahir dari ingatan manusia turun temurun tentang hal-hal ajaib."

Illa mengangguk-angguk paham. Dia merasa spesial, karena sebentar lagi dia akan belajar tentang sihir.

"Oke, berikutnya, sebutkan nama orang yang mengakhiri Great War sekaligus orang yang memprakarsai lahirnya pakta."

Illa ingin memprotes karena gurunya belum menjelaskan tentang aturan nomor tiga, tapi anak itu diam ketika melihat tatapan gadis itu yang menunggu jawaban. Illa mengerutkan alis, berpikir keras. Dia yakin pernah membacanya.

"Yehi 'ur Kohasa," gumamnya tidak yakin sambil mengintip ke arah gadis itu. Tebakannya benar, lawan bicaranya mengangguk.

"Light of the Star," balas sang guru dengan senyum lebih lebar, pandangannya menerawang jauh. "Itu arti namanya dalam bahasa Inggris. Ceritakan lebih banyak tentang dia."

"Dia adalah orang yang memimpin kalangan Putih memenangkan Great War dan menjadi pahlawan besar. Seorang kerabat dari petinggi penyihir Putih. Sampai saat ini keturunannya masih ada dan menjaga agar setiap hal di pakta dilakukan dengan baik."

"Betul sekali. Yehi adalah orang yang luar biasa," ucap gadis itu menutup matanya, seakan mengingat sesuatu. Dia membuka mata dan tersenyum ke arah Illa namun anak itu tahu, senyum itu tidak ditujukan padanya. Illa tiba-tiba saja merasa tidak suka dengan orang yang bahkan tidak pernah ditemui. Rasa kesal memenuhi benaknya.

"Sudah selesai? Apa aku mendapatkan pelajaran sihirku?" tanya anak itu menahan gejolak di dada, memutus lamunan gurunya.

"Oh, satu pertanyaan terakhir." Pandangan gadis itu kembali fokus pada Illa. "Jelaskan apa yang terjadi pada keempat anak yang pemegang crest setelah Great War."

Illa langsung mengerutkan alis. "Mana kutahu, di buku tidak ditulis," gerutunya, menduga bahwa sang guru mencari-cari alasan untuk membuatnya gagal, ditambah moodnya yang terjun bebas sejak nama Yehi disebut.

Gurunya tertawa. "Tiga diantara mereka melepaskan crest mereka dan menghabiskan hidup sebagai manusia."

"Lalu yang keempat?" tanya Illa penasaran.

"Dialah alasan adanya peraturan ketiga dalam pakta."

Mata Illa membulat, ingin bertanya lebih tapi tubuhnya mengkhinati. Dia menguap, lebar dan lama.

"Kita lanjutkan lain kali. Waktunya kamu tidur," ucap sang guru seraya mempersiapkan kain sebagai alas tidur Illa dan mengeluarkan selimut.

"Tapi, Guru--" Illa menguap lagi. Dalam hati dia mengutuki dirinya.

Sang guru tertawa dan melemparkan selimut pada anak itu. Illa menangkap kain berwarna kelabu itu, terdiam sejenak lalu berjalan mendekati gurunya. Tanpa permisi dia duduk di samping gadis itu, menyandarkan kepalanya di pundak sang guru. "Aku mau tidur seperti ini."

"Kamu akan pegal. Bahuku tidak punya bantalan lemak," balas gurunya menahan tawa.

Illa tidak menjawab malah membuat posisinya makin nyaman di sana, berusaha menenangkan pikirannya dari beberapa hal yang menganggu. Seperti nama yang disebut gurunya dengan penuh kagum, Yehi 'ur Kohasa. 

"Kamu manja sekali, sih," komentar sang guru menahan senyum sambil mengambil selimut menutupi mereka berdua lalu menepuk-nepuk pundak anak itu.

Illa hanya tersenyum mendengarnya, memfokuskan pikirannya pada detak jantung sang guru yang menenangkan dan tanpa sadar, detak jantungnya mengikuti, menjadikannya seirama. Anak itu menutup mata, perlahan-lahan kekhawatirannya terurai.

"Little bird fly away from home
Spread its wing far high above ...."

Sebuah lagu mengalun lembut di telinganya. Tanpa melihat, dia tahu siapa yang bernyanyi. Illa tidak pernah bertanya dari mana gadis itu mendapatkan lagu sederhana itu, membiarkan pikirannya berkelana jauh. Dia suka membayangkan kehidupan sang guru sebelum bertemu dengannya, bersama kedua orang tua, tinggal di sebuah rumah kecil nan hangat atau saat gadis itu berlarian di padang rumput, di bawah langit yang terbuka. Puluhan skenario lain berputar di kepalanya, mengantarnya terlelap.

"... 'till someday it find a song
to be heard called love."

Dia mendengar gurunya bersenandung, menggumamkan nada tanpa kata. Kantuk perlahan-lahan menguasai kesadarannya. Hatinya terasa hangat, semua cerita tentang Great War atau Soul Eater menguap ke udara. Anak itu tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa tidur tanpa alunan nina bobo dari gurunya dan sudah lupa bagaimana hidupnya sebelum bertemu gadis itu. Satu hal yang dia minta sebelum akhirnya terlelap, dia ingin berada di samping gurunya, selamanya. Dengan sebuah senyum terlukis di wajahnya, kesadarannya terbang ke alam mimpi.

Dia hanya tidak tahu bahwa setelah dia menutup mata, ketenangannya terusik. Puluhan bayangan hitam mengepung mereka.

Sang guru mengalihkan pandangannya dari Illa ke arah depan, di mana sesosok makhluk hitam melayang beberapa senti dari tanah. Jubah hitam menutupi sebagian wajahnya dan terang dari api unggun hanya sanggup menerangi bagian mulut yang dipenuhi jahitan, menyisakan sebuah rongga di tengah yang menyerigai. Hawa dingin menyebar dan perlahan sosok-sosok serupa muncul dari malam, mendekat ke arah mereka, berupa kegelapan yang berwujud. Gadis itu menghitung, ada sekitar sepuluh yang terlihat namun suhu udara terus turun. Dia tahu ada lebih dari tiga puluh Soul Eater yang mengelilinginya dan akan terus bertambah.

"Wah-wah, kami baru saja membicarakan kalian. Aku tidak menyangka kalian akan datang dan nekat menghadapiku," ucap gadis itu, embun tercipta setiap kali dia bernapas. Tangannya memegang pundak Illa yang mulai menggigil. Sang guru melepas selimutnya dan membungkus tubuh Illa agar dia lebih nyaman.

"Bila hadiahnya sebesar dia, kami bersedia mencoba," desis makhluk itu, menunjuk ke arah anak laki-laki yang merapatkan selimut ke tubuhnya dengan tangannya yang pucat dan kurus dari balik jubah. "Dan bukankah dia akan berbahaya bagi kami?"

Senyum gadis itu melebar, dia menyandarkan tubuh Illa ke pohon di belakangnya perlahan agar anak itu tidak terbangun. "Ternyata berita cepat sekali tersebar." Gadis itu berdiri perlahan. "Padahal aku berusaha menyembunyikan kemampuan sihirnya."

Suhu udara makin turun hingga bunga-bunga es mulai merayap di pepohonan sekitar mereka. Api unggun perlahan mengecil ketika kayu bakarnya tertutup selaput putih pucat.

"He he he." Sosok itu tertawa terputus-putus, melayang mendekati gadis itu, berhenti pada jarak satu setengah meter di hadapannya. "Siapapun akan terkenal bila dia bepergian denganmu, sang Penguasa Angin."

Senyum gadis itu melebar menjadi seringai sementara bunga es menutupi seluruh kayu bakar. Satu-satunya sumber penerangan mereka mati, menyisakan kegelapan dan dingin. Sebuah jeritan memecah hening malam.

________________________________________

Yuhuuu! Ini adalah pecahan dari chapter kemarin heheheh~ Semoga masih menarik di baca setelah wall of text berisi sejarah hahahahah~ Sebenarnya aku berharap bisa menulis cerita Great War of Crest sebagai cerita yang terpisah karena sebenarnya banyak masalah di sini dimulai dari perang ribuan tahun lalu :D cuma, sepertinya tidak bisa dalam waktu dekat hahahaha~ Masih banyak cerita yang sepertinya lebih menarik untuk ditulis //dibuang

I wish aku bisa bercerita lebih banyak tentang Yehi 'ur Kohasa :D hahahaha~ FYI, namanya aku ambil dari bahasa Ibrani, tentu saja tidak sama persis :D hahahahah~ Aku benar-benar berharap bisa mengangkat tentang kebudayaan Mesopotamia pada zaman itu :D next time lah ya :D

Minggu depan akan sang guru akan menunjukkan keahliannya :D dan lebih banyak action 

See you :3

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora