Bicara Berdua (2)

34.6K 2.9K 270
                                    

“Kia?!” Andra memekik dengan suara rendah.

Mendapati teman sekelasnya yang sama sekali belum muncul di kelas tadi sedang bermain piano tales sambil menangis pelan tentu saja sedikit mengejutkan—sangat mengejutkan kalau untuk Andra.

Kia menengok, memandang Andra sejenak dengan wajah sembabnya. Tidak bicara apa-apa, cewek itu kembali melihat ke arah ponsel karena ingat tentang game-nya. “Yah... Game over...” Kia menangis lagi.

Andra melongo sempurna, bingung, tapi ia cukup yakin Kia menangis di kolong meja bukan perkara game—Andra jelas tahu Kia sudah terbiasa dengan game over—maka dari itu Andra merampas paksa ponsel Kia dan menarik cewek itu untuk duduk di kursi. Andra sendiri sudah duduk di hadapan Kia sekarang.

“Gue punya banyak pertanyaan. Dan pertanyaan pertama, kenapa lo nggak ke kelas dan malah di sini?” tanya Andra, setelah akhirnya berhasil menghentikan tangis Kia dengan memperingatkan gadis itu soal penjaga perpustakaan.

“Karena gue malu nangis di kelas. Di toilet juga bau. Jadi gue kesini...” Kia menjawab sambil menggosok bawah hidungnya yang berair.

“Nomor dua. Gimana caranya lo bisa masuk perpus? Nggak mungkin penjaganya bolehin gitu aja kalau alasan lo kesini cuma buat nangis?”

“Tadi pagi, perpus udah dibuka dan nggak ada yang jaga. Mungkin penjaga perpus lagi sarapan pas gue masuk diem-diem.”

“Astaga... Makanya lo ngumpet di bawah meja? Biar kalau penjaga perpusnya balik lo nggak ketahuan?”

“Iya...”

Dengan ekspresi tidak habis pikir Andra memijit pelipis. Rasanya ia heran bagaimana bisa Kia begitu cerdas, dan juga beruntung, dalam hal-hal yang aneh. “Oke-oke, apapun itu, seenggaknya gue tahu penjelasannya.”

Cowok itu meraup wajahnya sendiri sesaat. “Soal terakhir. Kenapa lo nangis?” Andra bertanya lagi.

Tidak seperti dua soal sebelumnya, kali ini cewek itu tidak langsung menjawab, bola matanya bergerak-gerak tak tentu arah. “Kenapa lo mau tau?” ia malah balas bertanya.

Andra menajamkan mata. “Karena gue ped—“ itu kata yang cukup berbahaya, Andra putuskan meralat, “Penasaran...” kata pengganti yang bagus.

Sempat menimbang-nimbang Kia akhirnya menghela napas dan pelan-pelan menceritakan soal orang-orang yang terus membicarakannya belakangan ini. Mau bagaimana, Andra terlihat memaksa, lagipula, cowok itu sudah memergokinya sedang menangis.

“Astaga... Gue lebay banget ya sampai nangis bombay begini...?” tanpa sadar air mata Kia terus keluar selama ia bicara tadi.

Iya. Andra akan langsung bilang iya kalau saja Kia menanyakan hal itu sebelum menceritakan masalahnya. “Nggak. Menurut gue tangisan lo ini wajar.” itulah yang akhirnya Andra katakan.

“Tekanan mental, semacam pembullyan dan sejenisnya, selalu jauh lebih berpotensi menyakiti daripada sekedar serangan fisik biasa karena itu menyasar langsung ke perasaan seseorang.” Sambung Andra.

Kia yang mendengarnya terkesima diam-diam, Andra ternyata lebih cerdas dari yang ia tahu selama ini.

“Jawab jujur ya, Ndra... Gue ini jahat banget kan? Bikin seseorang kehilangan tempat yang udah susah payah diraih cuma perkara gue menang uang?” sekarang malah Kia yang banyak tanya.

Pal In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang