Problem

37.4K 2.9K 184
                                    

Hari bagi raport. Di Surabaya dulu, Kia selalu biasa saja menghadapi hari ini. Walaupun ia tidak pernah masuk 3 besar peringkat kelas, tapi ia masih bisa masuk setidaknya sepuluh besar. Tapi, di SMA Gading ini berbeda. Jujur saja, sejak semalam ia sudah ketar-ketir memikirkan peringkatnya.

Peringkat di kelas saja Kia sudah yakin akan angkanya akan mengenaskan, lalu, memikirkan cerita Nazla kalau setiap pembagian rapot selalu ada peringkat pararel sekolah-pengurutan nilai per penjurusan dan per tingkatan kelas--yang akan di tempel di mading sekolah, rasanya sekarang Kia yang sedang berjalan bersama sang Bunda untuk menuju ruang kelas ingin pulang lagi saja.

Sebelum membiarkan bundanya masuk ke dalam kelas, Kia sempat menahan tangan wanita itu. "Bun, nanti kalau nilai Kia jelek gimana?" tanyanya resah.

Sang Bunda tersenyum, dielusnya rambut Kia dengan sayang. "Artinya buat ke depan kamu harus lebih serius belajar."

Kia benar-benar tidak tahu harus membalas bagaimana, dan akhirnya ia hanya mengangguk. Kia merasa sangat beruntung mempunyai orang tua penuh pengertian begitu meskipun statusnya hanyalah anak angkat.

Bunda Kia sudah masuk ke dalam, sementara Kia sendiri duduk di depan kelas bersama sembari menunggu karena siswa memang tidak diperkenankan ikut masuk. Sebab Alfryda tidak masuk sekolah kali ini, Kia berdiri sendiri sambil mengintip ke dalam lewat jendela dengan wajah cemas. Di kelas, ia memang hanya dekat dengan Alfryda dan tidak terlalu akrab dengan yang lain.

"Terima rapot sekolah aja kayak lagi terima rapot dari malaikat penghitung amal..."

Sontak Kia memutar tubuh ketika suara berat itu terdengar dari arah samping. Kia langsung melipat tangan di depan dada saat mendapati Andra duduk di kursi panjang yang ada di dekatnya.

"Sombong banget yang ranking satu!" Kia mendengus.

Andra menutup buku yang sedang ia bawa sejenak. "Tahu dari mana lo gue bakal ranking satu?"

"Emangnya siapa lagi? Udah jelas banget kali!"

Jawaban Kia tidak ditanggapi serius oleh Andra, ia malah sudah kembali membaca. "Thanks, doanya..." ia menyunggingkan senyum tanpa mengangkat kepala.

Merasa sebal dengan Andra, Kia putuskan menengok ke dalam lagi, berusaha mendengar apa yang wali kelas bicarakan pada wali murid. Tapi sayangnya tidak ada sepatah katapun yang tertangkap oleh gendang telinganya sebab di luar ramai.

Andra berdiri dari duduknya saat Sang Mama keluar dari pintu. Kia yang masih setia di posisi terus melirik saat Andra dan Mamanya bercakap-cakap soal rapot. Melihat bagaimana Mama Andra begitu bahagia saat menunjukkan hadiah yang diberikan wali kelas karena Andra berhasil menjadi ranking satu lagi di semester ini, Kia hanya bisa gigit jari.

Sebelum mengantar Mamanya pulang, Andra mengambil tasnya yang sempat ia letakkan di bangku panjang tadi. Saat melewati Kia, cowok itu berhenti sejenak dan bicara. "Sekali lagi. Thanks doanya..."

Kia menghentakkan kaki ke lantai dengan penuh kekesalan karena tidak tahu kenapa ia merasa Andra baru saja mengejeknya.

Bunda Kia sudah keluar dari kelas. Wanita itu menepuk bahu Kia sehingga sang putri berhenti bergumam tidak jelas sendirian. "Kamu kenapa, Ki?"

Untuk meredam keterkejutan, Kia mengelus dada. "Oh, eh, nggak apa-apa kok, Bun..." ia nyengir lebar. Saat matanya menangkap rapot di tangan sang Bunda, Kia langsung bertanya. "Gimana nilai Kia, Bun? Kia peringkat berapa?"

Pal In Loveजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें