Bicara Berdua

34.6K 2.7K 184
                                    

Gagal menghabiskan liburan kenaikan kelas bersama Papa dan Bunda sebab tiba-tiba terserang demam berdarah, Kia benar-benar tidak ingin mengingat hal mengesalkan itu di hari pertama tahun ajaran baru ini. Sesampainya di gerbang sekolah, ia tidak berhenti berdoa supaya tidak ada guru yang begitu ingin tahu sampai memberi tugas menceritakan aktivitas selama liburan di depan kelas nanti.

Kia melompat turun dari koridor kelas XI-IPS yang baru ia lewati, tinggal beberapa meter lagi melewati tanah berlapis paving, dan ia sudah akan sampai ke depan kelasnya.

Dari yang Kia lihat, disana ramai saat ini, dan saat teringat kalau pengumuman tentang nama-nama yang tetap bertahan di unggulan, juga nama-nama yang kena depak pasti sudah tertempel di jendela, sekarang Kia sudah tidak heran dengan keramaian itu.

“Gila ya sekolah ini! Masa si Kia yang rata-rata raport-nya paling jelek masih bertahan?!”

Kata-kata salah seorang teman sekelasnya membuat Kia mematung seketika. Sensasi berdenging di telinga ini sudah pernah ia rasakan sebelumnya.

Orang yang baru saja bicara, sedang berdiri membelakangi Kia di jarak sekitar satu meter. Tidak sadar yang sedang dibicarakan mendengar ucapannya. Ia sedang memeluk temannya yang sedang menangis sebab di kelas XII ini ia harus tersingkirkan dari kelas unggulan.

“Padahal nilaiku masih setingkat lebih bagus diatas Kia...” yang sedang menangis protes entah pada siapa.

Melihat pundak teman sekelasnya bergerak naik turun seirama dengan isakan, membuat dada Kia seolah terhantam oleh sesuatu yang keras namun tak kasat mata. Ada keinginan melangkah dan meminta maaf, tapi Kia tahu ia hanya akan dibalas makian karena kata ‘maaf’ tidak akan merubah apapun sekarang.

“Keterlaluan banget... Bahkan dua orang lain yang nilainya masih dua dan tiga tingkat di atas Kia harus tuker posisi sama anak reguler yang nilainya bagus!” seseorang lain ikut bicara setelah puas meneliti kertas pengumuman.

Rasa bersalah merambati Kia dengan cepat, tiba-tiba matanya memanas dan air hangat mulai menggenang di pelupuk mata. Sebelum ada yang melihatnya menangis, Kia berbalik arah, melangkah tergopoh entah kemana.

****

“Kia kemana ya, Naz? Udah mau bel masuk kok belum dateng juga?” Alfryda duduk di sebelah Nazla sambil terus memandang ke arah pintu kelas. Walaupun Kia tidak pernah datang pagi, tapi biasanya cewek itu pasti sudah datang jam segini. Sekarang Alfryda heran karena batang hidung Kia belum tampak juga.

“Atau Kia hari ini emang nggak masuk?” balas Nazla. Di tahun ajaran baru ini, cewek itu disambut kabar gembira karena prestasinya saat kelas XI kemarin membawa namanya ke dalam daftar penghuni kelas XII-IPA1 tahun ini. Sekelas dengan sahabat, dan pacarnya...

Alfryda menggeleng yakin. “Kia pasti masuk. Tadi pagi gue lihat dia dianter supir, kok! Masa Kia sekongkol sama supirnya buat bolos?”

Dugaan Alfryda yang terkesan ngawur membuat Nazla tertawa seketika. “Haha! Ada-ada aja kamu, Ryd! Ya nggak mungkin lah...”

Supaya tidak bertanya-tanya lagi, Nazla mengeluarkan ponsel dan mencoba menelepon Kia. Tersambung, namun tidak diangkat. Nazla mengernyit karena itu. Sekitar tiga kali ia mengulang panggilan, tapi tetap saja Kia tidak menjawab.

Pemilik bangku yang sedari tadi Alfryda pinjam, Fira namanya, sudah kembali setelah menyelesaikan tugas menyapu koridor depan kelas. Mau tidak mau Alfryda berdiri dan membiarkan Fira mengambil tempatnya di sebelah Nazla kembali. “Udah ah, Naz, nggak usah terlalu khawatir, mungkin si Kia lagi menyelesaikan panggilan alam di toilet sekarang.” Katanya.

Pal In LoveWhere stories live. Discover now