Si Gorila menurut, dia mengepalkan tangan satunya dan mengarahkan tinjunya ke arah wajah anak itu dengan segenap tenaga.

"Tunggu."

Sebuah suara membuat Si Gorila menahan tinjunya di udara. Anak itu membuka matanya lemah, melihat ke arah orang asing yang mencegahnya menjadi karung samsak. Sosok itu memakai jubah coklat kumal menjuntai hingga lutut, menutupi kemeja wool berwarna krem kebesaran dan celana kain berwarna coklat. Dia berjalan mendekat sambil membuka tudung. Rambut coklat muda sepundak menyembul di baliknya, seorang remaja. Seorang pemuda manis atau seorang gadis. Entahlah.

"Lepaskan dia," ucapnya dengan tenang, sama sekali tidak takut pada ketiga raksasa di hadapannya walaupun dia hanya sebahu para pengawal kasar itu.

"Siapa kamu?" tanya Si Botak menghina. "Teman dari cecunguk ini?"

"Hanya orang lewat yang merasa kasihan dengan seorang anak kecil yang dipukul," jawabnya dengan suara tinggi.

"Tidak semudah itu, Nona." Si Botak tersenyum sinis. "Dia sudah mencuri dari seorang bangsawan, tentu harus dilaporkan kepada pengawal kerajaan."

Gadis itu menghela napas sambil mengeluarkan kantong uangnya, menyodorkan sekeping emas kepada ketiga orang itu. "Ambil uang ini dan anggap kalian tidak melihat apa pun."

Si Botak dan kedua temannya tersenyum menang. Mereka tertawa. "Kami minta lebih, barang yang dia curi sangat berharga."

Tanpa banyak bicara, gadis itu mengeluarkan sekeping lagi. "Jangan terlalu serakah, Sobat," ucapnya sambil menyerahkan dua keping itu kepada si Botak, ada nada ancaman samar di sana. "Ini penawaran terakhirku."

Sambil tertawa-tawa si Botak menerima dan memberi kode pada si Gorila untuk melepaskan anak itu. Si Gorila menurut dan membiarkan anak itu jatuh berdebum di tanah sebelum dia mengikuti kedua temannya pergi sambil memainkan dua keping emas mereka, menertawakan kebodohan gadis itu.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya sang gadis seraya tersenyum kepada anak itu, membantunya berdiri dengan memegangi tangannya yang terkepal. Anak itu mengangguk. "Siapa namamu?"

"Aeila," jawab Si Anak.

"Bagu--"

Aeila melemparkan pasir ke wajah penolongnya, membuat gadis itu terbatuk sambil menutup mata dan menggunakan kesempatan itu untuk lari sejauh mungkin dari sana tanpa menoleh ke belakang.

Kaki kecil anak itu membawanya kembali ke keramaian pasar di kawasan kumuh. Setelah yakin gadis aneh itu tidak mengejar, dia memelankan langkah dan berbaur dengan orang yang lalu lalang. Lima tahun hidup di jalanan mengajarkannya untuk tidak percaya pada orang, apalagi bila orang itu mengeluarkan uang lebih banyak dari yang dia terlihat sanggup membawa. Aeila pernah mendengar tentang pedagang budak yang menipu anak-anak seusianya agar bisa dijual dengan harga tinggi. Dia tidak ingin berakhir bekerja keras di perkebunan kapas tanpa dibayar.

Dia melihat sekeliling, ada toko roti, toko daging dan berbagai macam orang berdagang ini itu. Gerobak-gerobak didorong melewati tanah becek dan para petani membawa gandum untuk dijual. Perutnya berbunyi lagi, minta diisi.

"Ugh! Diamlah!" Dia menampar perut yang cekung dibalik bajunya yang longgar dan dipenuhi kotoran. Warna putihnya telah berubah menjadi kecoklatan karena sudah berbulan-bulan tidak dicuci. Matanya memandang sekeliling mencari makanan yang bisa dicuri.

Pandangannya berhenti di seorang ibu berusia tiga puluhan yang sedang bercerita dengan pedagang susu. Seru sekali dan sepertinya dia tidak akan sadar kalau sebuah roti dalam bungkusan yang diletakkan di meja hilang. Aeila tersenyum dan berjalan mendekati target sambil berpura-pura melihat ke arah kios bunga di samping penjual susu. Roti itu dalam jangkauan tangannya dan perlahan dia meraihnya.

"Apa kamu tidak pernah diajari kalau mencuri itu tidak baik?"

Aeila terlonjak kaget, begitu pula dengan si Ibu. Ibu tersebut menyadari tangan Aeila yang terulur ke arah belanjaan dan langsung mengamankannya. Dia terlihat marah dan nyaris memukul Aeila tapi gadis yang tadi menolongnya meminta maaf kepada sang ibu atas kelakuan adiknya. Ibu-ibu itu mendengus marah dan pergi. Gadis itu meraih pergelangan tangan anak itu dan membawanya pergi ke samping toko susu.

"Lepaskan!"

Gadis itu menurut dan melepaskan tangan kurus Aeila. Aeila sendiri menatap orang di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Dia yakin tidak melihat gadis itu dimana pun saat dia berlari, bagaimana mungkin orang itu bisa tiba-tiba muncul di sampingnya?

"Ba-bagaimana bisa kamu menemukan aku?"

Gadis itu terkekeh kecil. "Aku selalu bisa menemukanmu, Aeila. Kamu lapar kan?" Dia menurunkan tas kain dari punggungnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan dari kain berisi roti panjang. Roti yang hangat dan harum. Aeila merasa air liur mengalir deras hingga terpaksa menelannya.

"Kamu bisa makan ini," dia membagi dua roti di tangannya dan mengayun-ayunkan di depan wajah Aeila, mata hitamnya mengikuti roti itu, "kalau kamu memanggilku guru."

Yuhu! Ga terasa udah sebulan sejak pertama kali cerita ini keluar :'D makasih buat yang udah baca sampai sekarang, dikasih krisar, comment dan vote XD semoga cerita ini tetap bisa dinikmati :D

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Yuhu! Ga terasa udah sebulan sejak pertama kali cerita ini keluar :'D makasih buat yang udah baca sampai sekarang, dikasih krisar, comment dan vote XD semoga cerita ini tetap bisa dinikmati :D

Kita tinggalkan Sang Pemusnah sebentar dan akan fokus ke anak yang bernama Aeila ini :3 sedikit spoiler, mereka berdua akan bertemu pada satu titik dalam cerita hehehehe

Okeeee makasih udah baca ocehanku :D sampai jumpa rabu depan XD

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Where stories live. Discover now