Sembilan belas- (Ending)

543 41 3
                                    

Semenjak peristiwa di kamar, Iqbaal tidak berhenti mendekati (Namakamu). Nampaknya Iqbaal memanfaatkan kepribadian yang lainnya, sifat rumahannya tidak kapok membuat (Namakamu) kewalahan, Iqbaal berubah menjadi sangat agresif kepada (Namakamu).

"(Namakamu)... apa lo gak kangen sama gue?" Ucapnya, menggoda (Namakamu) yang masih sibuk dengan pikirannya.

(Namakamu) berjengit sebentar, mencerna pertanyaan Iqbaal. Sebenarnya Ia sendiri tidak mengerti dirinya rindu atau tidak kepada pria itu, namun Ia berfikir apakah kegelisaannya selama dua minggu karena memikirkan Iqbaal tidak cukup untuk mengartikan bahwa Ia rindu? (Namakamu) bungkam.

"Nggak, wooo" jawab (Namakamu) akhirnya.

"Ah! Bohong kan" iqbaal menoel hidung (Namakamu).

"Apasih baal, kalo gue kangen kenapa coba?" Jawabnya asal, keceplosan lebih tepatnya.

"Kalo lo kangen, gue seneng."

"Kalo gue gak kangen gimana?"

"Yaa gak mau tau gimana caranya lo harus kangen."

"Gak bisa! Emang kenyataanya gue gak kangen." Ucap (Namakamu) ketus seraya mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ohh kalo gini gimana?..."

Clup...

Sedetik kemudian Iqbaal mencium bibir (Namakamu) sekilas.

"Aaaaaa Iqbaal...!" (Namakamu) berteriak, ahh! Sifat kurang ajar Iqbaal sepertinya sudah kembali. (Namakamu) kesal, Tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Seperti rasa manis, tapi bukan gula, yang benar saja sepertinya hatinya tidak ingin berbohong kalau Ia rindu. Tidak..! bukan hanya rindu. Apakah yang dimaksud hatinya adalah cinta? tapi... bukankah seharusnya perasaan itu sudah tidak berlaku untuk Iqbaal?

~o0o~

Seperti biasanya, (Namakamu) menikmati udara sore dengan cara duduk di halaman rumah. Tempat ini selalu cocok untuk Ia gunakan sebagai tempat menenangkan diri selama berada di rumah Iqbaal. Udaranya yang pas dan pohon yang sedikit mengepakkan daunnya di sore hari semakin membuat (Namakamu) tenang.

Namun, untuk saat ini ketenangan seolah- olah hanya (Namakamu) lontarkan sebagai ucapan terimakasih kepada suasana taman. Nyatanya yang (Namakamu) dapatkan bukanlah ketenangan, isi kepalanya terlalu penuh untuk mendapatkan itu semua.

Bodohnya (Namakamu) memenuhi pikirannya dengan pertanyaan- pertanyaan yang bahkan harus Ia jawab sendiri. Mulai dari apakah Ia serius bersama Aldi, mengapa perasaan aneh selalu muncul saat dekat dengan Iqbaal, dan parahnya lagi Ia sempat membayangkan Iqbaal berada di posisi Aldi yang sekarang, yaitu sebagai kekasihnya. Apa itu masih wajar?

(Namakamu) tidak mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya kalau dengan menjaga hati untuk kekasihnya sendiri saja Ia tidak bisa. (Namakamu) menyayangi Aldi, tapi mengapa rasa cinta yang memang dulunya pernah Ia peruntukkan kepada Iqbaal tidak bisa hilang hingga sekarang?

Memang, cintanya dulu hanya terukir untuk Iqbaal seorang, sampai sekarang pun (Namakamu) yakin perasaan itu masih ada, hanya saja keadaan menuntut untuk tidak membangunkan (Namakamu). Tapi bukannya itu kurang ajar? Siapapun itu, bantu (Namakamu) sekarang!

(Namakamu) melenturkan kakinya yang masih diperban sebelum akhirnya menyentuh sesuatu di sela sandaran kursi. Ia membulatkan matanya saat mendapati sebuah foto. Ya... foto Iqbaal kecil, (Namakamu) ingat dulu pernah meletakkan foto itu di kursi sebelum kembali ke rumahnya. Sepertinya tidak ada yang menempati kursi itu selama (Namakamu) pulang.

IDOL KISSWhere stories live. Discover now