Tujuh belas

441 33 2
                                    

Siapa yang tahan melihat kekasih sendiri gelisah karena laki- laki lain? Tidak ada! Aku salah satu orang yang paling setuju tentang itu.

Tapi melihat apa yang terjadi sekarang. Rasanya aku sangat egois. (Namakamu) baru saja tertimpah masalah gara- gara ucapan yang tak bisa kutahan bersama emosi. Lupakan masalah hati. Aku benar- benar menyesal.

Kulihat dari ambang pintu, tim medis sedang memberi pertolongan pertama untuk kekasihku --bodo apa aku masih pantas disebut kekasih-- (Namakamu) merintih menahan sakit. Aku merasa benar benar bodoh telah membuat kekacauan ini. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan Dia lakukan setelah kejadian ini.

Aku hendak menghampirinya namum langkahku terhenti saat suara wanita mengganggu pendengaranku.

"Ini Aldi kan?"

Aku menoleh. Ah benar saja itu suara ibu- ibu tetangga sebelah. Aku sengaja menelponnya karena hanya nomor itu yang kutahu, beruntung telepon rumah di  komplekku memiliki nomor yang berurutan. Mengingat (Namakamu) tinggal dirumahnya, aku rasa tidak ada salahnya menghubungi ibu.. Ahh aku lupa namanya.

"Iya tan, itu (Namakamu) sedang dirawat" eh kok malah manggil tante.

Lantas ibu itu mendekati ranjang pasien yang masih dikelilingi perawat. Aku mengikuti dibelakangnya. Sial, Semakin tak tega melihat (Namakamu) menangis kesakitan.

Tetanggaku juga tak tega melihatnya. Ia langsung memalingkan muka dan meringis saat mendapati lutut (Namakamu) dijahit bak kain bolong. Aku mencoba menenangkan ibu itu dengan membawanya keluar ruang rawat. Nah aku ingat, Rike, ya (Namakamu) pernah menyebut nama Rike saat kita pertama kali bertemu di lapangan komplek. Satu lagi yang ku ingat, dia ibunya Iqbaal.

Sambil menenangkan ibu Rike aku menceritakan kronologi kejadiannya. Aku berkali- kali menyampaikan maaf saat menjelaskan. Jadi merasa tambah bersalah melihat bu Rike meneteskan air mata.

"Maafkan saya tan, saya berjanji akan tanggungjawab" Ucapku sungguh- sungguh.

Dua orang perawat keluar dari ruangan seraya menyeka keringat dikening. Lantas aku dan bu Rike berdiri. Sebelum melontarkan kalimat, salah seorang perawat telah mendahului kami.

"Anak ibu tidak apa- apa hanya sedikit robekan dan butuh 3 jahitan di lututnya"

Gila! hanya sedikit robekan? Santai amat bu ngomongnya. Emang dikira kain tuh orang.

Kami memasuki ruang UGD tempat (Namakamu) berada setelah mengucap terimakasih pada perawat. Tante Rike--Aku manggil tante aja yaaa...-- lekas memeluk (Namakamu) yang terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Perban dilutut dan luka ringan dibagian dahi, sikut tangan, dan lengannya sedikit menghambat gerak (Namakamu).

Tante Rike kembali menangis. Namun tampaknya (Namakamu) mencoba mengisyaratkan bahwa Ia baik- baik saja.

Aku yang masih memberi jarak beberapa meter dari mereka hanya bisa menatap aksi dramatis yang makin membuatku merasa bersalah. Bagaimanapun ini semua gara- gara ulahhku.

(Namakamu) mengalihkan pandangannya ke arahku. Lantas entah perintah otak bagian mana yang lancang menggerakkan kakiku untuk mendekatinya. Tanpa sadar aku sudah berdiri di belakang tante Rike yang masih memeluk (Namakamu). Ah aku harus segera tahu apa yang harus kukatakan, Tuhan mohon beri contekan naskahmu.

"Kamu baik- baik saja?" Ah gila. Ngomong apa aku ini.

"Maafin aku ya (Nam.)" Otak benar- benar buntu. Aku tidak suka berada dalam situasi semacam ini.

(Namakamu) hanya menggangguk, aku bersyukur setidaknya dia menganggap keberadaanku disini. Aku jadi tambah bingung apa yang akan kulakukan setelah ini, seakan lupa kata- perkata naskah skenario tuhan yang sebelumnya sudah kuhafalkan. Aku hanya melongo menatap ranjang pesakitan.

IDOL KISSWhere stories live. Discover now