duapuluhlima

116 24 1
                                    

Beginilah caraku menyapa Dad malam ini:

"Dad, itu milikku. Kenapa kau membacanya!?"

Aku bahkan tidak usah merebut buku setebal lima centi bersampul wajah Karlie Kloss dari tangan Dad untuk tahu apa benar Vogue itu milikku atau bukan. Karena tentu saja itu milikku. Aku salah satu dari sekian banyak gadis di muka bumi yang senang hati membayar puluhan poundsterling untuk berlangganan majalah fashion keluaran British setiap tahunnya.

Dad menutup majalahnya lalu melemparnya cukup sopan ke atas meja. "Ini alasan kau begitu gemar menghambur-hamburkan uang," komentarnya.

Aku mengambil tempat duduk di sofa berseberangan dengan Dad, mengambil majalah itu dari atas meja, menatap sekilas kekasih Joshua Kushner lalu menaruhnya di sampingku. Aku membiarkan komentar Dad melayang di udara tanpa berniat membantahnya.

Dad meraih remote TV, menekan tombol on, lalu sibuk mencari saluran yang ingin dia tonton. Aku tertarik dengan acara hiburan The Return of Superman sebenarnya, aku sering melihatnya bersama Mom. Tapi sepertinya Dad tidak, dia terlihat tak tertarik sama sekali. Bahkan siaran SBS 8 News sekalipun dia lewati.

Dad berhenti di saluran Disney Channel Asia yang menayangkan animasi komedi series Miraculous: Tales of Ladybug and Cat Noir. Sayang tidak lama dari Dad meletakkan remote ke atas meja, series itu selesai, diganti oleh film animasi produksi tahun 1993 berjudul The Nightmare Before Christmas. Salah satu film animasi stop motion yang kusukai, ngomong-ngomong.

"I am the shadow on the moon at night, filling your dreams to the brim with fright!"

Aku menoleh ke arah Dad.

"Oogie Boogie." Katanya, menjawab pertanyaan yang tak kutanyakan.

Aku tersenyum pias. "Well played, Oogie."

"Aku teringat malam ketika untuk pertama kalinya kita nonton film ini bersama, seperti baru terjadi kemarin, tapi itu sudah dua puluh dua tahun yang lalu."

Aku tidak berkata apa-apa, begitu tidak terbiasa dengan suara Dad yang tumben-tumbennya tidak terdengar antagonis. Lagi pula bayi mana yang ingat tentang kenangannya ketika berusia delapan bulan?

"Saat itu hanya kita berdua di rumah, Ibumu berada di rumah sakit menjaga Aby yang mengalami demam. Kau menangis keras dan aku dibuat pusing karenanya. Kupikir kau haus, jadi aku menyeduhkanmu susu. Kau berhenti menangis, tapi tidak lama, karena kau menangis lebih keras lagi setelahnya. Aku memutuskan menggendongmu dan berlari kecil mumutari sofa di ruang tamu, kau diam namun seolah-olah mulutmu siap menjerit untuk menangis lagi."

Aku mulai paham kenapa air mataku sulit keluar, karena aku sudah menghabiskannya ketika masih bayi dulu.

"Aku mulai berpikir bagaimana cara untuk menahan tangismu. Aku naik turun tangga hanya supaya aku tak tergoda untuk meletakkanmu di sofa. Aku menyetel mozart supaya kau ngantuk lalu tidur, sayang tak berhasil. Aku teringat pada seorang teman yang bekerja di Disney, dia memberitahuku tentang film animasi komedi yang baru dirilis, kemudian kita melihatnya. Berdua."

Aku masih menatap layar TV ketika Dad berhenti hanya untuk menggambil nafas.

"Kau tertawa, Al. Aku tak pernah melupakan suara tawamu itu. Karena aku menyukainya."

Aku menoleh ke arahnya dan terkejut. "Oh ya?"

Dad memandang ke arahku dan sama terkejutnya. "Oh ya?" Ulangnya.

Aku menahan diriku untuk tidak membalas ucapan Dad, walau sejujurnya percakapan ini mendukung dan tepat waktu jika aku mau menyebutkan satu-persatu sifat jahatnya.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now