sepuluh

145 51 5
                                    

Aku duduk diam di atas kasur, sekedar memandangi dekorasi kamarku yang begini-begini saja tanpa ada perubahan signifikan sejak aku memilih lantas menjadikannya markas ternyaman dari seluruh ruang yang ada di dalam rumah keluarga Song.

Dindingnya berwarna merah muda. Dan satu-satunya hiasan yang ada adalah lukisan bergambar kastel ala Disney beserta Princess Snow White yang sengaja digantung sejajar dengan daun pintu –aku yakin bukan aku yang meletakkannya di sana. Jangankan meletakkan, memilih gambar anak-anak sebagai ornamen sama sekali bukan gayaku. Benda itu sudah ada sejak aku menempati kamar ini. Dad yang menggantungnya, atau seseorang yang Dad bayar, aku yakin.

Aku bukan seorang teenagers dan kebetulan bukan pula tipikal gadis yang mudah jatuh cinta hanya karena mendengar lagu-lagu super romantis dari beberapa boyband kawakan Westlife, ataupun One Direction, atau tersipu merah padam kepada seorang pria yang jelas sikapnya telah disetel sesuai skrip narasi. Lebih tepatnya sesuai minat pasar. Itu sebabnya tidak ada poster atau gambar seorang bintang di dalam kamarku. Wilayah ini benar-benar steril dari pernak-pernik pemicu delusi.

Seolah baru saja ada malaikat melempar obor benderang ke otakku yang hanya sebesar kepalan tangan, sebuah ide briliant menempelkan gambar SuperStar CHO KYUHYUN muncul. Aku hampir tertawa. Yang akan kulakukan pertama kali jika aku benar-benar menempel gambar si sinting itu adalah mendandani wajah sombongnya dengan menggambar tahi lalat super besar pas di pangkal hidung bangirnya. Kemudian menarik tiga sudut garis membentuk segitiga di sisi kanan-kiri kepalanya, lalu gigi-giginya yang putih dan rapi akan kuganti dengan gigi-gigi warna hitam untuk menambah kesan kejam wajahnya yang dingin. Hah! Membayangkannya saja cukup membuat dadaku gemuruh bahagia.

"Al?"

Aku menoleh. Kepala Dad menyembul dari balik pintu. Dia menyipitkan matanya menatap aneh ke arahku.

"Ibumu memintaku untuk menyuruhmu segera turun."

Aku bahkan tidak memiliki waktu menjawab atau sekedar menganggukkan kepala menanggapi ucapan Dad. Dia langsung menarik mundur kepalanya bahkan sebelum aku berkedip. Mungkin sepatunya tidak senang jika menginjak debu di lantai kamarku.

Mom melayangkan senyum lemah begitu melihatku berjalan menuruni anak tangga. Dia mengangkat sebuah piring berisi waffle dengan dua tangannya bermaksud mengatakan aku membuat ini untukmu, Al.

Aku menekuk dua lutut sebelum mencium kening Mom cukup lama. Ini sudah lima hari sejak dia diijinkan meninggalkan rumah sakit, dengan pengawasan dua suster yang datang ketika pukul delapan pagi dan kembali pukul sembilan malam serta seorang pembantu wanita yang umurnya kira-kira lima puluh empat tahun. Tabungan Dad sekedar cukup bahkan tidak ada apa-apanya jika hanya untuk memberi tambahan uang sebagai imbalan pada tiga orang tersebut.

Tapi Mom tidak seperti Mom beberapa minggu yang lalu. Sekarang dia duduk di atas kursi roda. Sangat tersiksa melihat Mom seperti itu. Tapi aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tidak menangis. Duduk di kursi roda bukan berarti kehilanggan segala-galanya, itu yang dikatakan Mom. Dia masih bisa berjalan, tapi untuk mempertahankan kondisinya stabil seperti sekarang, satu-satunya cara adalah tidak membuatnya berjalan. Dia tidak boleh lelah.

"Dimana Dad?" Tanyaku, berharap dia sudah pergi. Karena entah kenapa, akhir-akhir ini aku sangat ingin menghabiskan waktu berdua hanya dengan Mom.

"Sudah berangkat. Dia sedikit sibuk. Dia bilang kau tidak usah khawatir karena ada sopir yang mengantarmu nanti."

Leganya.

Tidak ada yang tahu kalau aku selalu ingin loncat dari mobil ketika Dad mulai memberiku petuah-petuah kunonya.

"Mom ingin aku membawa apa ketika aku pulang nanti?"

"Kau pasti membawa apa yang aku inginkan?"

"Tentu saja."

Mom tersenyum cukup cerah di banding senyum lemahnya saat melihatku tadi. Sesuatu yang dimintanya, aku yakin bukan permintaan yang mudah kuturuti. Dan benar saja, saat dia mengatakan, "tiket konser Super Show 6 encore," pantatku jatuh terduduk di atas dua tumitku. Dari mana Mom tahu kalau konser dunia Super Junior bertajuk Super Show? Siapa pula yang memberitahunya kalau Super Junior mengadakan konser penutup dari rangkian tour dunianya?

"Kau akan mendapatkan tiket itu, kan, Al?"

"Dad tidak akan mengijinkan Mom pergi."

"Tidak usah memberitahunya."

Aku membuang nafas pelan. "Mom pasti akan merasa sesak. Akan ada banyak fans Super Junior yang menonton. Apalagi ini konser penutup mereka tahun ini."

"Aku mohon, Al. Aku ingin melihatnya. Kau bisa memilih kursi yang paling nyaman yang tidak akan membuatku merasa sesak."

"Kursi paling nyaman?"

Aku menggeleng kuat begitu kata itu muncul di kepalaku. Yang benar saja? Backstage? Tidak mungkin!

∞∞∞

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now