TIGA

270 80 24
                                    





"I can kid the world,but not

my sister."



Dad sedang duduk membaca majalah olah raga ketika aku tiba di rumah. Aku nyaris punya pikiran kalau Dad terkena dimensia mengingat matahari baru saja tenggelam di laut barat dan aku menemukannya ada di dalam penjara megah yang dibangunnya untuk Mom dan aku. Mungkin profit besar sudah berhasil dikantonginya sehingga dia terlihat tenang dengan bacaannya.

"Kau baru pulang?" tanyanya padaku.

"Ya."

"Kau tahu sekarang jam berapa?"

Tidak adakah pertanyaan yang sedikit lebih berbobot dibanding pertanyaan barusan? Kurasa ketika jarum jam panjang berada di angka satu sedang jarum pendek di angka delapan, aku tetap masih bisa mengatakan kalau sekarang jam delapan malam. Apa mungkin menurut Dad tidak?

Seminggu ini aku lebih sering menemukan wajah Dad dihampir seluruh sudut rumah; kadang sudah duduk di belakang meja makan saat aku turun dari kamar untuk sarapan, kadang di ruang baca yang permukaan bukunya hampir keseluruhan di lapisi debu, kadang di garasi mobil dengan peralatan otomotifnya, kadang juga aku dibuat tercengang karena tawanya yang menggelegar di depan TV dengan Mom di sebelahnya. Bukannya senang karena akhirnya Dad kembali menjadi Dad yang dulu, aku malah merasa aneh. Benar-benar aneh.

"Sopir yang kupekerjakan untuk mengurusimu tidak menemukanmu di kampus. Kau kemana saja?" tanyanya.

"Dad tidak mempekerjakan dia untuk menjadi sopir, Dad menyuruhnya memata-mataiku." Jawabku.

Mom yang awalnya duduk di sebelah Dad bangkit membawa tubuhnya berdiri sebelum berjalan menghampiriku. Dia menyugar rambutku yang kusut dengan jari-jemarinya. "Jangan menunjukan wajah kesal seperti itu, Ayahmu sudah menunggumu sejak tadi."

Bukannya membuatku merasa lebih baik, kata-kata Mom malah membuatku makin kesal. Cinta membuat orang buta. Mom lupa kalau Dad juga sudah sering membuatnya menunggu.

Aku mendesah, bersamaan dengan tarikan nafas Dad yang panjang. Ketika aku mencoba meredam kesalku dengan menutup mata dan membukanya beberapa detik kemudian, Dad sudah menggantikan posisi Mom berdiri di depanku. Aku yakin akan ada ledakan amarah dari ubun-ubun Dad sebentar lagi.

"Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya. Mungkin terselip sedikit nada perhatian di sana, tapi aku tak dapat menangkapnya.

"Bagaimana aku bisa tahu, aku tidak bisa melihat wajahku sendiri."

"Tidak kah kau merasa cukup setelah setengah umurmu kau habiskan bersenang-senang di luaran sana membuang-buang waktu dengan hal-hal tak berguna?"

Jika Abigael yang berdiri di posisiku, apa mungkin Dad akan menatapnya setajam dia menatapku sekarang?

"Aku membawamu kemari bukan untuk melihatmu pulang larut. Kau di sini untuk mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Aby!"

Abiageal, pusat tata surya untuk Mom dan Dad. Mengisi posisi kosong Aby bukan pertama kali aku mendengar tercetus dari mulut Dad. Aku memang putri kedua yang kehadirannya terjadi akibat alat kontrasepsi yang salah letak. Sebuah kecelakaan yang tidak pernah diharapkan. Aku selalu merenungkan apa yang akan terjadi padaku andai Abiageal tidak pergi, apa mereka, terutama Dad, akan menatapku sebagai putrinya yang lain?

"Kenapa kau tidak bisa seperti Aby? Apa begitu sulit untuk membuat ibumu agar tidak merasa kesepian? Sangat sulit membuat kami bahagia?"

"Ketimbang susah-susah mengubahku menjadi seperti Aby, kenapa Dad tidak membawa saja Aby kembali?" Ucapku dengan nada tenang dan pelan, yang membuat kata-kata jahat itu terdengar makin buruk. Aku tidak tahu mana yang lebih cepat terjadi, telapak tangan Dad yang menyapu pipiku atau air mata Mom yang mengalir di kedua pipinya. Yang aku tahu, aku tidak bisa menarik balik perkataanku. Aku benar-benar jalang.

22nd Journey [completed]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum