tujuhbelas

126 32 3
                                    

Aku menopang dagu. Beberapa kali sebelumnya telah mengubah posisi duduk untuk mencari posisi paling nyaman. Ruangan yang gelap dan jarak antar bangku yang kira-kira hampir tiga meter benar-benar membantu. Aku tidak peduli berapa jumlah penonton yang duduk di ruangan ini. Aku tidak peduli jika beberapa kali di antara suasana yang tenang terdengar suara orang menguap. Aku tidak peduli pada sekotak popcorn yang tidak tersentuh, atau diet coke yang sodanya mulai tidak terasa. Yang kupedulikan hanya satu, diriku sendiri. Bagaimana caranya agar aku tidak berkedip dan fokus pada film yang ku tonton bukan pada orang di sebelahku, yang jelas-jelas menahan matanya untuk tetap terjaga dan beberapa kali kepergok tengah asik menatapku ketimbang film yang diputar di layar.

Ya, Cho Kyuhyun datang. Sepuluh menit begitu film diputar. Aku tidak menyapanya saat itu, bahkan menoleh untuk memastikan jika orang yang menempati kursi sebelahku benar adalah dia. Karena bagiku, jika ada seseorang yang duduk di sana, maka harus dia orangnya, bukan yang lain.

Aku berterima kasih dia memiliki otak cukup cemerlang untuk memahami arti kata hadiah, yaitu sesuatu yang kau terima untuk dirimu sendiri.

"Masih ada berapa menit lagi sebelum film ini berakhir?"

"Dua puluh lima menit, sepertinya."

"Ohhh..."

How to Change the World adalah sebuah film yang berkisah tentang sekelompok sahabat yang mengambil setting tahun 1971 yang berlayar ke zona uji coba nuklir, kisah para pelopor yang mendirikan Greenpeace dan didefinisikan sebagai gerakan hijau modern. Jenis film bergenre Adventure yang tak mungkin bisa dibiarkan lewat begitu saja tanpa ditonton, dan merupakan salah satu genre favorit Dad.

Untuk film yang berdurasi 110 menit, ini termasuk film pendek yang pernah kutonton. Sebelumnya aku pernah menonton film dengan durasi nyaris tiga jam. Dan itu asik-asik saja. Tapi sepertinya tidak begitu bagi Cho Kyuhyun, dia mulai menunjukkan minat minus sepuluhnya, bosan. Malah akan heran jika Kyuhyun tidak bosan. Film seperti ini cocoknya ditonton oleh para lansia sebagai hiburan untuk mengenang masa kejayaan mereka. Menceritakan kembali pada anak-anak mereka bahwa pada masa itu dunia begitu gelap dan dia adalah Super Hero-nya.

Jadi aku?

Ya, aku adalah korban dari salah satu lansia tersebut. Seorang anak Super Hero yang dipaksa untuk menggilai kisah-kisah jaman dulu dan secara perlahan tertanam sebuah kegemaran pada kisah semacam itu.

"Cho Kyuhyun,"

"Hm?"

"Kau kepingin keluar?"

"Tidak." Dia menggeleng. "Film-nya asik." Katanya.

Aku pakar bohong di sini. Tidak ada yang bisa membohongiku. Kata asik-nya barusan bukan sebuah pengecualian.

Kami menghabiskan film dan keluar setelah layar kembali berwarna hitam. Cho Kyuhyun menguap lebar saat aku menoleh ke arahnya, yang buru-buru dia tutupi dengan aksi batuk-batuk kecil. Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, jam sepuluh lebih empat puluh menit. Masih ada satu jam dua puluh menit lagi sebelum hari berganti dan jam malamku berakhir. Jadi jika Cho Kyuhyun menawariku segelas kopi di Starbuck terdekat, mungkin aku bisa menerimanya.

"Film seperti itu, yang kita tonton tadi, biasanya jarang diputar di tempat ini."

Tempat ini yang dimaksud Kyuhyun adalah theatre paling terkenal di Seoul yang lebih banyak dibanjiri oleh muda-mudi masa kini.

"Lalu?"

"Di bioskop yang jarang pengunjungnya."

"Oh."

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now