delapanbelas

98 28 1
                                    

Hari Selasa yang dimaksud Cho Kyuhyun adalah lima-belas-hari kemudian.

Dia berjalan masuk kelas diantar oleh teman-teman-abadinya, mengenakan kaos hitam yang ditimpa kemeja kotak-kotak warna abu, rambut disisir rapi dengan bagian depan jatuh menutupi kening, dan langkah kaki yang tegap, dagu terangkat, dada membusung, seperti biasa. Yang tidak biasa adalah dia bicara padaku saat melewati mejaku.

"Hai, Allana," sapanya.

"Hai, Cho Kyuhyun," sapaku.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Baik." jawabku.

"Sudah sarapan?" tanyanya.

"Sudah." jawabku.

"Tidak menyisakannya, kan?" pastinya.

"Tidak, tentu saja." pastiku.

"Bagus," katanya. "Namibia mengalami bencana kelaparan panjang dan tidak seharusnya kita membuang-buang makanan."

"Ya." kataku.

Dan begitulah. Dia bicara padaku di awal kelas tapi mengabaikanku sepanjang hari. Satu-satunya yang kulakukan adalah mengabaikannya juga. Jadi tidak masalah saat berpapasan dengannya di koridor ketika aku berniat pulang dia menatapku seolah aku pihak yang lebih dulu mengabaikannya. Aku tidak perlu bicara di depan wajahnya mengatakan kalau dia tidak selalu menjadi pihak yang selalu dibutuhkan, kan?

"Kau kenapa, Al?"

Aku dibuat kaget sampai bangkit mendadak dari acara tidur telentang dengan buku terbuka menyembunyikan wajah. Aku menatap Dad setelah berhasil menyingkirkan rasa terkejutku.

"Tidak kenapa-kenapa." jawabku.

Dad terlihat tidak percaya, tapi tidak membahasnya lebih lanjut. Dia hanya menyuruhku turun ke lantai bawah karena Mom ingin melihat wajahku.

"Aku merasa aku tidak tinggal satu rumah denganmu akhir-akhir ini. Kau jarang terlihat di mana-mana."

Itu protes dari Mom yang paling tidak masuk akal. Aku tidak terlihat di mana-mana? Baik, mari kubocorkan kegiatanku setiap harinya.

1. Aku bangun tidur pukul enam, paling telat pukul tujuh. Salama satu jam sibuk dengan kegiatan perempuan di pagi hari.

2. Setengah sembilan aku duduk manis di balik meja makan untuk sarapan bersama kedua orang tua hebat (ada Mom) dan tersenyum memerankan tokoh protagonis seorang anak yang berlimpah kebahagiaan.

3. Menghabiskan waktu tujuh jam di Kyung Hee untuk menuntut ilmu.

4. Jam lima sore mulai menyiram bunga-bunga milik Mom sembari mendengar curhatan Mom tentang lelahnya dia meminum semua obatnya.

5. Dua jam kemudian menikmati makan malam yang diteruskan dengan menonton TV. Atau kalau tidak, aku akan menemani Mom di dalam kamarnya sampai dia tertidur.

6. Kira-kira jam sepuluh malam, aku baru masuk ke kamarku dan mulai membuka-buka modul kuliahku sampai aku lelah dan menyerah pada rasa kantuk.

Jadi di mana letak jarang terlihat dimana-mana nya, ketika semua waktu yang kumiliki ketika berada di dalam rumah ini semuanya untuknya?

"Aku ketiduran tadi sore. Mata kuliah hari ini sedikit membuatku pusing."

"Sekarang masih pusing?" Tanya Mom, dia menyentuh keningku lalu menyisir rambutku dengan jari-jemarinya.

Aku menggeleng. "Sudah baikan." Kataku.

Mom duduk bersandar di kepala ranjang, aku duduk di pinggiran kasur dengan kedua kaki menyilang. Ini menjadi sebuah kebiasaan sekarang. Duduk berdua membicarakan banyak hal yang seringnya di dominasi oleh topik-topik masa muda Mom sebelum bertemu Dad. Dia pernah menceritakan pacar pertamanya padaku. Dia menyuruhku berjanji untuk tidak memberitahu Dad. Aku memegang kartunya.

"Kau sedang ada masalah?"

Aku tersenyum. Masalahku adalah hidupku. Tidak akan ada yang bisa memecahkannya jika bukan aku yang mengakhiri hidupku sendiri.

"Mau cerita?"

"Aku hanya sedang merasa kesal pada seseorang." Kataku.

Seseorang di sini adalah semua orang yang aku kenal di dunia ini. Semua orang yang kukenal tidak pernah tidak membuatku kesal. Mereka adalah sumber masalah-masalahku. Sumber dari sisi kejamku yang kusembunyikan.

"Siapa? Pacarmu?"

"Aku tidak punya pacar, Mom."

"Kau nge-date pulang jam tiga pagi."

Aku menarik napas. Aku sudah menceritakan detail yang disebutnya kencan barusan olehnya. Dia pernah muda dan dia seharusnya tahu apa yang kulakukan bersama Cho Kyuhyun tidak bisa dibilang kencan. Sama sekali bukan kencan. Kencan adalah ketika seseorang datang mengetuk pintu rumahmu, meminta ijin pada orang tuamu, mengembalikanmu tepat sebelum malam berakhir.

"Kenapa semua orang selalu semau mereka sendiri? Melakukan apa yang mereka ingin lakukan, mengatakan apa yang mereka ingin katakan, tanpa memikirkan orang lain? Kenapa semua orang yang kutahu semuanya egois?"

"Kau sedang membicarakanku?"

"Ya." Jawabku. "Mom tidak bisa mengangapku punya pacar hanya karena aku pulang jam tiga pagi. Aku tahu Dad tidak menghukumku karena Mom yang minta. Tapi itu tidak lantas bisa membuat Mom mengatakan apa yang Mom ingin katakan. Dia bukan pacarku."

"Kau sedang melampiaskan kekesalanmu pada pacarmu kepadaku."

Akh!

Terserah!

Aku lelah.

∞∞∞

"Maafkan aku,"

Aku tidak mau dengar.

"Aku minta maaf, Al."

Aku tidak peduli meski dia mengulangnya seribu kali sekalipun.

"Dia biasanya tidak seperti itu. Dia hanya sedang cemburu."

Cemburu? Pada siapa?

"Teman-temannya melihat kita berbagi payung waktu itu, mereka tidak mencari kebenarannya lebih dulu dan langsung memberitahu Lani."

Aku melirik Lee Hong. Lani yang bodoh. Juga dirinya.

"Maafkan aku, okay?"

"Kenapa kau yang harus minta maaf?" Tanyaku, tak mengerti. "Jika ada yang harus minta maaf, biarkan pacarmu yang bodoh itu yang melakukannya."

Lee Hong diam. Dia menatapku sekilas sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. "Aku sudah putus dengan Lani. Dia bukan pacarku lagi."

"Oh ya?"

Aku menutup buku yang kubaca kemudian kutaruh kembali ketempat di mana aku mengambilnya –rak paling tinggi di deretan musik klasik Eropa.

"Dia berubah, bukan lagi Lani yang kukenal. Dia merubah penampilannya nyaris ingin menyamaimu. Dia menuduhku tertarik padamu."

"Memangnya kau tertarik padaku?" tanyaku.

Lee Hong mengangkat dagu. Dia tersenyum tipis bersamaan dengan semburat merah muncul di kedua pipinya.

"Jangan tertarik padaku, aku bukan aku seperti yang kau lihat."

Lalu aku pergi meninggalkan Lee Hong setelah mengatakan hal itu. Jika di dunia ini hanya menyisakan aku dan Lani yang tidak memiliki pasangan, dan Lee Hong satu-satunya pria yang tersisa, Lee Hong harus tetap memilih Lani. Bukan karena aku tidak menginginkan laki-laki itu (sebenarnya aku memang tidak mau), melainkan aku tidak tahu rasa sakit seperti apa yang akan Lee Hong rasakan setelah hidup bersamaku.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now