sebelas

117 39 5
                                    

"I'm quick to say fuck it, and fuck you!"


"Beri aku tiket konsermu."

"Apa?" Sedetik aku berhasil menangkap raut kaget di wajah Cho Kyuhyun sebelum lelaki itu melepas pandangannya dari wajahku. "Kau ingin melihat konser Super Junior?"

Aku mengangguk.

"Tapi kami hanya sekelompok lelaki bodoh yang menitikberatkan pertunjukan pada koreografi dan menganggap enteng nyanyian, mengandalkan vokal yang direkam sebelumnya dan menyesuaikan gerakan bibir. Kau yakin kau mau melihat sekumpulan lelaki pecundang seperti kami?"

Aku diam. Lalu menelan ludah. Pikiran seperti itu pernah keluar dari gumpalan otak lembekku.

"Aku tidak pernah mengatakan hal semacam itu." Ucapku, akhirnya. Sekarang bukan saatnya membenarkan kalimat Kyuhyun, kan? Tujuanku menemuinya di rooftop Kyung Hee adalah memintanya memberi dua tiket untukku dan Mom di konsernya. "Kau berpikiran buruk tentangku, Cho Kyuhyun."

Kyuhyun menoleh ke arahku. Satu sudut bibirnya naik lebih tinggi menciptakan senyum sinis. "Kau tipikal gadis yang mudah ditebak, Allana. Jelas matamu membenarkan ucapanku barusan."

Aku memutar mata. Aku tidak senang orang menilaiku, terlebih berakting seolah dia mengenalku dengan baik. Tidak terkecuali Cho Kyuhyun.

"Jadi?"

"Apa?"

"Kau mau memberiku tiket sialan itu atau tidak?" Tanyaku.

Cho Kyuhyun menatapku dengan mulut rapat. Lima menit. Dan asal tau saja, diamnya lebih menyakitkan ketimbang pergelangan kakiku yang mulai kesemutan. Sikap diamnya lebih membuatku sinting ketimbang menghadapi Dad dengan argument-argument tak terbantahkannya.

"Allana," Cho Kyuhyun akhirnya membuka mulut.

"Ya?"

"Permintaanmu sedikit susah. Jika tiket yang kau minta adalah tiket dengan jenis kelas yang disedikan, tidak sulit untuk mendapatkan untukmu. Tapi kau memintaku sebuah tiket yang tidak ada bentuknya."

"Aku tahu." Sahutku. Dia pikir aku tidak pernah nonton konser? Dan jika tiket untuk masuk backstage itu dijual, tentu aku tidak akan meminta padanya. Aku punya uang untuk membelinya. "Karena itu aku memintamu, Cho Kyuhyun. Kau satu-satunya koneksi yang kutahu bisa membuatku bebas masuk ke belakang panggung."

Kyuhyun lagi-lagi diam. Dan aku terlalu banyak bicara hari ini. Sudah seperti pengemis.

"Aku tahu aku salah karena memanfaatkanmu. Hanya aku tidak punya cara lain untuk−"

"Masalahnya tidak semudah itu membawa seseorang ke konser."

"Tenang saja, aku akan membayar berapapun nominal yang kau sebut."

Ekor mata Cho Kyuhyun melirik tajam ke arahku. "Apa aku terlihat seperti lelaki gelandangan?"

"Kalau begitu apa masalahnya? Kau hanya perlu memberi akses masuk padaku." Ucapku, mulai tidak sabar.

"Itu tidak mudah, Allana."

"Karena aku bukan seprofesi sepertimu?" Balasku. Aku menarik nafas panjang. Ini saatnya aku mengakhiri sesi mengemisku padanya. "Sudahlah, aku anggap tidak mau memberikan tiket padaku. Lupakan saja, aku tidak akan memaksamu. Ini hanya permintaan konyol Ibuku." Lalu aku bangkit dari dudukku. Meraih tas selempangku sebelum mengalungkan di sebelah bahuku. "Aku per−"

"Aku belum selesai bicara, Allana." Suara Kyuhyun tegas. Tangannya terulur meraih lenganku, menarikku supaya duduk lagi. "Aku tidak bilang aku tidak mau membantu. Aku akan mencoba. Tapi aku tidak janji bisa mendapatkannya."

Aku sekuat tenaga berusaha untuk tidak tersenyum. Walau akhirnya menyerah setelah melihat bibir penuh Cho Kyuhyun melengkung indah ke atas. Aku ikut merasakan dua sudut bibitku terjungkit naik sedikit lebih tinggi dari biasanya.

"Aku pasti berusaha."

"Ya, kau harus berusaha."

∞∞∞

Mom tak bisa menyembunyikan rasa girangnya begitu aku memberitahunya perihal konser Super Junior. Senyumnya terus tersungging di kedua bibirnya meski ini sudah lewat lima hari sejak aku memberitahunya. Dia sangat bersemangat. Sangking semangatnya, Mom bahkan membuatku tercengang dengan datangnya paket yang kuterima sore tadi lewat jasa kurir dari salah satu fansite besar Super Junior, Teuk Bar. Dia berkoar-koar pada suster kalau dirinya akan pergi nonton konser hampir sepanjang hari dan menyuruh mereka untuk tidak membocorkan rahasia penting itu pada Dad. Dan aku perlu mengingatkan mereka untuk benar-benar bungkam sebelum Dad menerkamku dan mengusirku keluar dari rumah.

Aku duduk diam di sebelah Mom saat dia dengan begitu pelan melepas satu-persatu selotip hingga kertas pembungkusnya terbuka sempurna, benar-benar sempurna karena tidak ada satupun yang kulihat ujung-ujung kertas itu robek. Aku merasa heran untuk Mom yang memperlakukan sebuah kertas seolah itu lembaran dollar. Ketika jari-jemari Mom mulai tenggelam di dalam kotak, aku merasa awas. Aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, aku takut itu sesuatu yang bisa membahayakannya. Saat Mom menoleh ke arahku, aku tersenyum. Begitu Mom menarik tangannya, beserta sebuah lightstick, aku tak bernafas selama beberapa detik.

Oh my Godness!

"Bukankan ini sangat cantik, Al?"

Aku terngangga. Untuk kesekian kalinya dalam hari ini aku kehilangan kata-kata.

"Desainnya sangat lucu."

Aku mengangguk. Mataku jatuh mengamati lightstick dengan desain separuh lampu separuh kipas angin.

"Aku suka sekali."

Mom hidup dengan filosofi memilih untuk bahagia. Dia jelas-jelas orang yang selalu terlihat gembira, selalu tersenyum, sesuatu yang kadang kubenci setengah mati. Karena dia tersenyum untuk menyembunyikan hidupnya. Tapi kadang aku berpikir, mungkin Mom memang sudah terlahir begitu. Mungkin hal itu memang mengalir dalam darahnya, tapi tidak menurun padaku. Mungkin Abiagel yang menuruni gen itu. Kurasa begitu.

Aku tidak punya alasan untuk tidak tersenyum, meski sedikit kupaksakan. Mom bahagia, walau sangat kekanak-kanakan menurutku, tapi tidak apa-apa, karena aku bisa melihat senyumnya.

"Aku sungguh tidak sabar, Al." Ucap Mom. Dia membawa lightstick ke dada untuk didekap. "Aku yakin pasti sangat asik."

∞∞∞

Ketidakjelasan memang penyiksaan.

Aku tidak melihat Cho Kyuhyun setelah hari itu. Dia tidak pernah datang mengikuti kelas Film Scoring dan aku terus menunggunya. Aku datang ke rooftop hampir tiap waktu luang sebelum menghadiri kelas selanjutnya untuk mencarinya dan berharap dia ada di sana sedang berbaring telentang menantang matahari. Tapi dia tidak ada.

Hal itu mempengaruhiku sampai ke level fisik. Aku terjaga selama dua puluh jam setiap hari, delapan jam diantaranya duduk di depan layar laptop berharap sebuah email dengan ID baru muncul di sana.

Aku mendapat nilai C untuk ujian Improvisation Analysis walau itu bukan suatu hal yang baru, tapi seharusnya aku bisa mendapat nilan B+.

Aku sedikit kehilangan kepercayaan diri di depan Mom. Aku menghindari terlibat obrolan panjang dengannya meski aku sangat ingin bicara banyak padanya.

Dan yang paling parah, aku kehilangan berat badanku sebanyak lima kilo dalam kurun waktu satu minggu. Tanpa diet. Tanpa olah raga. Sama sekali tidak sehat. Aku serius tertekan karena hari ini sehari sebelum konser Super Junior digelar.

Benar-benar sialan Cho Kyuhyun itu!

Akhirnya aku menyerah mencari Cho Kyuhyun sore ini setelah kakiku rasanya seperti hampir patah. Antara kecewa dan marah luar biasa. Lelaki itu tidak terlihat dimana-mana, juga gadis-gadis yang selalu membuntutinya pun tidak tercium baunya. Pertanda kalau Cho Kyuhyun absen lagi hari ini.

Aku mendengus keras. Kukeluarkan laptop dari dalam tas lalu kuketikkan nama Cho Kyuhyun di browser. Hasilnya muncul lebih dari dua belas juta situs, seperti yang sudah kuduga. Namun demikian kudapati diriku menyelami hasil pencarian, aku tak percaya aku baru saja melakukan hal-hal tidak waras hanya karena aku sedang sangat putus asa terhadap Cho Kyuhyun.

Yah, aku memang pantas merasa putus asa padanya, jengkel lebih tepatnya. Karena dia sudah memberiku harapan. Dia membuatku berharap.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now