duapuluhtiga

104 26 2
                                    

Aku tidak menunggu, tapi seolah-olah sedang menunggu. Tidak lama lagi, sinar matahari akan membentuk sebuah garis berwana merah keemasan di ufuk timur. Tepat ditanggal yang sama, dua puluh lima tahun yang lalu, Abiageal lahir. Sang kegembiraan, si pembawa suka cita.

Abiageal Elvinia Song. Lahir tanggal delapan November di sebuah rumah sakit di Dublin. Matanya berwarna hijau kecokelatan, sebuah perpaduan yang seimbang antara mata Mom dan Dad. Memiliki rambut ikal alami berwarna pirang gelap yang panjangnya selalu tak melebihi bahu. Jenius. Menguasi berbagai instrumen. Pandai bergaul. Punya banyak teman. Memiliki sikap yang sangat luar biasa lembut, selayak seorang Putri bangsawan yang melintasi properti yang luas, melindungi petani-petaninya dengan baik, mencerca ketidakadilan perdangangan budak, serta memiliki kebiasaan kebersihan diri seperti budak abad ke-19.

Jelas aku membenci sikapnya. Dia membuktikan secara berulang kali dan untuk selamanya, bahwa dia adalah yang terbaik yang dimiliki orangtuaku. Mom mengatakan padaku pada sore hari yang panas, lagi, dan lagi, meskipun Aby adalah anak gadis yang baik, yang sikap dan sifatnya sangat berlainan dariku, yang intinya dia lebih baik ketimbang aku, tanpa aku di dalam lingkaran keluarga penuh drama ini, keluarga ini tak sempurna. Dan Mom mengatakannya padaku, mengatakannya padaku, dan mengatakannya padaku, untuk tidak merasa terintimidasi dengan sikap Aby, meski secara jelas dia kerap menunjukkan betapa berbedanya kami.

Jelas kami berbeda. Aku sehat, dia penyakitan. Aku hidup, dia mati.

Aku ingat, waktu aku kelas tiga sekolah dasar aku mendorong Barbara sampai gadis itu terjungkal ke dalam tumpukan salju di halaman sekolah yang dingin. Aby ada di sana, bersama teman-temannya, menatap ngeri ke arahku. Mungkin di matanya dia seolah melihat Annabelle siap menghunus pisau ke perut seorang gadis yang tak berdaya. Tanpa dia bertanya kenapa aku melakukannya, dia berlari ke mobil Dad. Tak pernah sebelumnya aku begitu sedih melihat mobil Dad keluar dari tempat parkir begitu cepat meninggalkanku dengan segengam salju di tangan. Dan di awal Januari itu, aku bersumpah, dan berjuta-juta kali sesudahnya, bahwa aku tidak akan pernah lagi, sekalipun, membela Aby dalam bentuk apapun.

Mom selalu punya waktu untuk balas dendam. Ketika dia tak berhasil memonopoliku dengan pesta ulang tahun yang meriah, maka dia akan membuat ulang tahun Aby begitu meriah, sangat meriah, luar biasa meriah, setiap tahunnya. Walau dia bisa memasak, bukan berarti masakannya akan menjadi top nomer satu yang tak ingin dilewatkan oleh siapapun. Walau begitu, dia tidak akan tanggung-tanggung untuk memenuhi meja berukuran 2x8m berjumlah tiga dengan aneka macam hidangan olahannya, eksperimennya, resep coba-cobanya.

Pesta besar ala-ala abad 19 dengan undangan berpakaian merah jambu selalu bertempat di rumah di halaman belakang. Dad akan sibuk dengan Primrose-nya yang dia taruh dalam vas-vas dan guci-guci yang tersebar di tiap space kosong. Aby sangat menyukai bunga berwarna kuning itu. Lampu pernak-pernik idaman balita-balita playgrup dipasang melilit batang-batang pohon yang kokoh. Dan selalu, tak pernah berubah tiap tahunnya, Aby selalu mengenakan gaun rancangan Dolce&Gabbana yang menjuntai menyapu lantai.

Kemudian, meski sang Kembiraan telah pergi, perayaan itu masih ada. Berlangsung tiap tahun ditanggal yang sama. Menyatukan kami duduk mengelilingi meja bundar dengan sebuah Cake, tiga lilin, wish, senyum, serta air mata. Air mata Mom lebih tepatnya. Hanya untuk tahun ini, aku tidak berpikir perayaan itu bakalan ada. Aku tidak sangup. Baru tiga puluh delapan hari yang lalu rumah ini dikerubungi kesedihan, juga aku tidak ingin pura-pura menjadi adik yang tersenyum bahagia dihari ulang tahun kakaknya yang sudah mati. Karena akupun sudah lelah untuk pura-pura bahagia untuknya selama ini. Seumur hidupku.

Matahari terbit dan tenggelam hanya dalam hitungan jam. Aku masih berada dalam pikiran lamaku yang menyiksa. Kenangan tentangnya. Hingga sadar jam telah menunjukkan pukul tujuh malam, aku terjebak di antara tiga pilihan; kasur dan selimutku yang begitu nyaman yang membuatku kecanduan belakangan ini, pergi makan malam bersama Dad dalam rangka merayakan ulang tahun anak gadisnya yang sudah mati (sulit dipercaya Dad masih ingin merayakan ulang tahun Aby setelah Mom tidak ada), atau pergi melihat Cho Kyuhyun. Pilihan terakhir itu sudah masuk dalam daftar hal yang ingin kuhindari dalam minggu ini, jadi tentu aku akan mencoretnya. Tapi jika mencoretnya berarti aku harus makan malam bersama Dad, lebih baik aku tidak melakukannya.

22nd Journey [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang