tigabelas

123 32 1
                                    

'I hate going an entire day without talking to you.'



Ini salah satu alasan aku membenci Korea. Pola cuacanya benar-benar tak bisa ditebak. Setengah jam yang lalu saat aku keluar dari rumah langit sangat cerah dan sang mentari begitu angkuh duduk di singgasananya, begitu turun dari mobil di plataran Kyung Hee langit dengan seenaknya saja tanpa ampun menjatuhkan ribuan kubik air ke bumi. Bagiku yang tak sedia payung sebelum hujan, ini tergolong bencana besar. Pasalnya, baru kemarin pegawai salon datang ke rumah dan membuatku melalui hari melelahkan setelah mengikuti serangkaian perawatan rambut, aku tidak membawa baju cadangan seperti; kaos, jaket, atau sesuatu yang bisa melindungi rambutku yang baru diluruskan dengan teknik Geisha, kebetulan juga hari ini aku menggunakan tas punggung bahan kain yang mudah basah; di dalamnya terdapat makalah yang kukerjakan semalaman karena batas pengumpulannya hari ini, dan yang paling penting di atas hal-hal yang kusebutkan barusan adalah aku memiliki kelas pagi yang dimulai lima belas menit lagi. Asal tahu saja, untuk menuju ke kelas pertamaku tersebut aku harus melewati semacam aula yang terpisah dari bangunan utama Kyung Hee sebelum berbelok ke kiri melewati taman buatan dengan air mancur di tengah-tengah kemudian naik ke lantai empat dengan tangga darurat jika lift masih tidak bisa digunakan.

Sempurna. Sangat sempurna.

Aku menunduk memastikan tali sepatuku terikat kuat sebelum berlari. Aku harus berlari jika ingin tiba di kelas sebelum professor tiba, meski lima puluh satu persen aku sangat yakin kalau aku akan telat dan berkesempatan tidak diijinkan masuk ke dalam ruangan. Tapi aku tidak boleh telat dan tidak boleh ditendang dari kelas Century Western Music hari ini, alasan karena ini satu-satunya pelajaran yang paling menarik minatku juga karena ini hari kamis dimana sering diadakan kuis dadakan. Aku pernah sekali mendapat nilai C dan itu menampar wajahku sangat keras. Aku yakin aku tidak sebodoh itu.

Rasa dingin perlahan merambat di punggungku akibat air hujan yang berhasil membuat basah kemejaku. Moncong Nike putih yang membungkus kakiku berubah warna menjadi cokelat muda karena terciprat air tanah. Beberapa corak cokelat pun sudah terlukis di celana jeans hitam yang kukenakan. Hanya berpikir bagaimana melindungi tasku yang berisi barang-barang berharga, aku mengabaikan hal-hal penting tadi. Penampilanku berantakan. Kedua tanganku kugunakan untuk mendekap tas ketimbang melindungi kepalaku dari air hujan.

"Allana!"

Aku terus berlari kendati aku tahu seseorang baru saja menyeru namaku.

"Allana!"

Kusebut sinting jika aku memutuskan berhenti dan menoleh ke belakang.

"Allana!"

Aku heran kenapa dia tidak menutup mulutnya dan berlari menghindari hujan.

"Hei, Allana."

Dan aku berhenti saat tetesan air hujan yang jatuh dari langit terhalau kain warna hitam yang terbentang di atas kepalaku. Kemudian aku menoleh ke samping sambil mengatur nafasku yang memburu.

"Lee Hong," ucapku.

Lelaki itu berdiri dengan cengiran lebar di wajahnya.

"Aku berniat menawarkan payung untukmu, tapi rasanya aku seperti baru saja mengganggu lari pagimu."

Aku ingin menjawab tapi aku hanya tertawa sumbang. Guyonan seperti ini sama sekali tidak lucu. Aku tertawa hanya karena aku berusaha menghargai tawaran Lee Hong saja.

"Ini," aku melirik sapu tangan yang di ulurkan Lee Hong, "rambutmu basah, kau bisa kena flu lagi."

Aku menerima sapu tangan darinya. Tidak bermaksud menghina, tapi dari beberapa pengalaman yang terjadi di sekelilingku, kebanyakan lelaki berpenampilan aneh tidak memiliki daya ingat tinggi, karena itu aku sedikit dibuat kaget karena Lee Hong mengingat alasan fake yang kubuat beberapa bulan lalu; absent karena terjangkit Flu. Oh.. Payah!

Aku berjalan beriringan dengan Lee Hong. Payung Lee Hong yang kupikir hanya cukup melindungi satu orang ternyata mampu menaungi kami berdua, dengan catatan jarak bahu kami tidak boleh lebih dari satu jengkal. Dan dia cukup gentelman karena membiarkan sebelah bahunya basah akibat kibasan air hujan demi aku.

Sayangnya, aku tidak tersentuh sama sekali.

"Sepertinya kau belum mengenal pola cuaca di sini,"

"Kurasa begitu."

"Biasanya, akhir bulan Juli sampai Agustus selalu ditandai oleh siklus hidrologi yang tidak pernah berhenti. Kondensasi, presipitasi, evaporasi, dan transpirasi."

Aku mulai mengeringkan rambutku yang basah menggunakan sapu tangan Lee Hong. Haruskan aku mampir sebentar ke toilet? Pikirku.

"Karena topografi Korea Selatan yang sebagian besar berbukit dan tidak rata, juga iklimnya yang di pengaruhi oleh iklim dari daratan Asia, kuharap ke depannya kau tidak heran jika cuaca di sini mudah berubah-ubah dan tidak bisa di tebak."

"Setidaknya ada pemberitahuan dari pihak terkait."

"Memang ada, tapi tidak semua orang melihatnya dan percaya begitu saja. Sebagian ada yang hanya menganggap angin lalu apalagi saat berita itu dirilis langit begitu cerah."

Aku menjadi orang yang tidak melihat berita itu dan merasa sial sekarang.

"Karena sudah kuberitahu, lain kali jangan lupa bawa payung. Hujan datang kapanpun, walau bisa diprediksi tapi tidak berarti selalu akurat. Untuk berjaga-jaga kau bisa mengunduh aplikasi AccuWeather."

Aku mengangguk. Tidak ada salahnya mengikuti saran darinya.

"Kita berada di kelas yang sama, kan, pagi ini?"

"Ya." Jawabku.

"Baguslah. Kalau telat aku tidak akan menjadi satu-satunya orang yang ditendang keluar."

Lee Hong mengikat payungnya begitu kami berhasil mencapai salah satu sudut koridor Kyung Hee. Karena kebetulan kami memiliki kelas yang sama jadi kuputuskan untuk menunggunya. Kami berjalan beriringan di koridor yang pagi ini lebih ramai dari biasanya, kemungkinan besar alasannya karena mereka sama sepertiku yaitu penghuni kampus yang kebetulah tidak tahu apa-apa tentang perubahan cuaca yang begitu mendadak, juga mungkin sekumpulan orang yang berpikir untuk menunggu hujan reda ketimbang menerobosnya. Lalu dalam hati aku tersenyum begitu tiba di depan pintu lift, semula yang kukira aku akan mendaki tiap anak tangga menuju lantai empat dengan tenaga yang tinggal separuh akibat terkuras saat berlari tadi, rupanya tidak. Lift sudah beroperasi normal seperti sebelumnya.

"Al, kau mau memberiku rekomendasi?" Tiba-tiba Lee Hong bertanya.

"Apa?" responku.

"Seminggu lagi ulang tahun Lani, kira-kira hadiah apa yang harus kuberikan untuknya?"

Aku diam, lalu menatap Lee Hong sesaat sebelum menggeleng pelan. "Kau yang paling tahu apa yang disukai Lani. Apa yang paling dibutuhkannya. Aku tidak bisa membantu."

Lee Hong tertawa. Dan di sela derai tawanya yang entah karena alasan apa, aku menangkap sosok Kyuhyun keluar dari ruang kerja Professor Park.

"Bukankah itu Kyuhyun?" Tanya Lee Hong. "Kenapa dia keluar dari sana?"

"Tidak tahu."

Lima langkah ke depan aku akan berpapasan dengan Cho Kyuhyun yang berjalan berlainan arah. Aku sangat yakin dia tidak akan susah-susah menyapaku karena akupun begitu.

"Bukankah kau dekat dengannya? Aku pernah melihat kalian bersama."

"Tidak." Setengah mati aku tidak mau melirik ke arah Kyuhyun. "Mana mungkin aku dekat dengannya." Jawabku, yang aku yakin Kyuhyun mendengarnya, karena dia berhenti sebentar saat jarak kami hanya tersisa satu langkah setelah ucapanku barusan dan menatapku. Aku mencium wangi parfumnya yang begitu segar untuk pagiku yang pengap. "Dia itu Super Star."

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now