SEMBILAN

175 53 11
                                    


"If I'm weired around you, that means I'm comfortable with you."



Mom jatuh pingsan. Seharusnya aku tidak menyebut dia beruntung mengingat tubuhnya yang ambruk dan kepalanya nyaris terkantup meja, tapi dia benar-benar beruntung karena saat kejadian Dad dan aku berada di rumah. Andai hari ini bukan akhir pekan, Dad sedang menghadiri rapat pemegang saham, aku berkutat dengan not-not balok yang... serius membuat mataku berkunang-kunang, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Mom. Bisa jadi Mom akan tergeletak menyedihkan, sendirian, kedingingan di atas lantai marmer yang seputih pualam.

Aku cukup tidak memiliki waktu hanya untuk sekedar meraih mantel di gantungan lemari saat ambulan yang Dad telpon tiba di rumah. Aku berjalan di sisi Dad menggengam sebelah telapak Mom saat Dad membopongnya masuk dan menidurkan tubuh Mom di dalam mobil. Baru setelah tiba di rumah sakit, ketika dokter sedang berusaha menolong Mom yang kondisinya terlihat kritis, aku menyadari kalau kedua telapak kakiku hanya terbungkus sandal rumahan berwarna merah muda. Aku tidak sadar kalau jari-jemari kakiku sudah mengkerut kedinginan bahkan nyaris beku. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada diriku asal hal buruk tidak menimpa Mom.

Dokter keluar dari ruangan Mom. Secepat Maserati ketika Dad menyusul dan menghentikan langkahnya. Mereka bicara sangat pelan menjaga aku tidak bisa mencuri dengar, sangat ironis karena sebenarnya mereka sudah berdiri lima belas meter jauhnya dimana aku tidak bisa mendengar suara mereka. Aku hanya bisa melihat gelengan kepala lemah dokter yang membawa tangan Dad menyugar kusut rambutnya dan kedua lututku lemas seketika.

Aku mencengkeram gagang pintu dan menyandarkan tubuh ke situ. Dad menoleh ke arahku. Tatapannya dalam dan sarat kesedihan. Aku tidak perlu mendengar apa yang Dad dan dokter katakan, aku sudah tahu semua ini pasti akan terjadi. Aku juga sudah sering berlatih mempersiapkan diri jika kelak waktunya tiba, tapi kenyataannya, aku tak pernah siap. Siapa yang siap jika kesempatan bersama dengan orang yang dicintai hanya tinggal menghitung tahun? Bulan? Malah mungkin hari?

"Al," pangil Dad pelan. Tangannya bergerak turun menyentuh bahuku, yang aku yakin sekarang dia sudah merasakan bahuku yang gemetar melalui bahan T-shirt yang kukenakan. Aku mengangkat wajah, tidak sadar kapan tepatnya Dad berjalan menghampiriku. Air panas yang mengumpul di pelupuk mata membuatku tidak bisa melihat raut wajah Dad waktu dia bergumam, "semuanya baik-baik saja," dengan suara penuh emosi.

Ucapan Dad membuat ingatanku mundur ke belakang, pada kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu. Dad baru saja berbohong. Semuanya sudah tidak baik-baik saja sejak saat itu. Sejak Dad mengatakan tidak ada yang baik-baik saja di dunia ini.

Membayangkan apa yang dirasakan Mom menyebabkan air mata semakin mengumpul di bawah bulu mataku. Setetes diantaranya melarikan diri dan mengalir ke pipiku sebelum bisa kuseka tanpa terlihat oleh Dad.

Aku tidak pernah ingin menunjukkan air mataku di depan Dad. Aku tidak pernah ingin menyembunyikan wajahku di dada Dad seperti yang sering Aby lakukan ketika sedang menangis. Karena menurutku, semua itu hanya akan membuatku mendapat label sebagai gadis lemah nan manja. Tapi sekarang aku tahu alasan kenapa Aby selalu melakukan apa yang kupikirkan barusan. Nyaman. Rasanya seperti memiliki pelindung yang tidak akan membiarkanku mencicipi secuil rasa takut.

"Kita harus kuat untuknya, Al."

Dan untuk pertama sejak empat tahun, kondisi Mom sebagai perantaranya, aku merasakan kembali rasa nyaman dari pelukan Dad. Aku tidak ingin menyangkal, tapi sepertinya, aku merindukan pelukan ini.

∞∞∞

Tubuh Mom semakin hari semakin terlihat perubahannya. Aku tidak kuasa mendiskripsikannya, hanya garis kerutan di ujung matanya yang kini makin jelas yang mungkin bisa aku gambarkan. Sisanya, memprihatinkan. Aku benar-benar tidak tega melihatnya.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now