empatbelas

118 33 3
                                    


Selasa malam, sebelas hari setelah aku berpapasan dengan Kyuhyun di koridor yang akhirnya meninggalkan pertanyaan besar di kepalaku; dimana lelaki itu sekarang? Sedang sibuk dengan teman-teman satu grupnya? aku merebahkan tubuh di atas kasur menatap langit-langit ke sebuah pahatan yang persis di atas kepalaku. Aku tidak bisa tidur. Benar-benar terjaga setelah dua jam berusaha membawa pikiranku ke alam mimpi. Kulirik jam dinding yang tergantung tak jauh dari frame foto berisi gambarku dan Aby yang diambil lima tahun lalu; Aby mengenakan sebuah gaun tanpa lengan berwarna orange sedang aku mengenakan T-shirt biru tua yang dipadu celana jeans belel, di sana jarum jam menunjukkan pukul satu lebih dua puluh menit dini hari.

Aku teringat Aby.

Abiageal saudara perempuanku yang pergi.

Aby adalah seorang gadis yang eksistensinya tak pernah mati di dalam keluargaku, dia selalu berada di antara kami. Seorang anak rumahan yang kolot, menurutku. Dia tidak pernah pulang telat, seringnya dia akan menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang menjadi kodrat wanita; merangkai bunga, membuat kue kering, berbagi cerita, menjadi pendengar yang baik, dan yang paling penting dia tidak pernah membuat kami nyaris gila karena menunggunya berjam-jam di sebuah cafe namun tidak kunjung datang sampai cafe-nya ditutup.

Aby tidak memiliki banyak teman, tapi teman yang dimilikinya tidak bisa dibandingkan dengan teman-temanku yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak. Teman Aby sangat baik sekali. Mereka selalu datang ke rumah dan menghabiskan akhir pekan dengan menonton film komedi yang sumpah sering membuatku tak betah di rumah. Teman-teman Aby juga dekat dengan kedua orang tuaku. Dad bahkan sering menanyakan kabar mereka satu-persatu pada Aby dan tak jarang mengundang mereka makan malam bersama. Lain halnya denganku, Dad tidak mengenal temanku dan tak pernah menyebut-nyebut mereka di sebuah kesempatan. Sejujurnya, aku pun tak begitu sedih, dari awal memang sudah tidak ingin mengenalkan mereka padanya. Aku berteman hanya untuk terlihat normal.

Aby sangat cantik. Dia memiliki mata kecil nan teduh, hidungnya mancung, dagunya lancip serasi dengan bibirnya yang tipis. Aby tak pernah membiarkan rambutnya sejajar pinggang, tapi juga tidak lebih pendek dari bahu. Warnanya pirang tua dan lurus alami. Dan jangan tanyakan bagaimana bentuk tubuh Aby, karena kakak perempuanku itu memiliki tubuh yang diidam-idamkan oleh para wanita pelaku diet yang benar-benar sadomasokis.

Kamarku dan Aby bersebelahan. Sangat dekat. Tapi jangan berpikir hubunganku sedekat itu. Tak jarang aku bertengkar dengan Aby, lebih seringnya aku yang memprofokasi, seperi; aku menghina pacar Aby dengan menyebutnya lembek, aku berteriak pada salah satu teman Aby dan mengusirnya setelah dia memecahkan jam pasirku, aku memilih kelaparan dan membuat Mom menangis karena tidak mau menyentuh masakannya gara-gara dia menyajikan menu kesukaan Aby yang baunya aku benci, dan yang paling parah yang bisa kuingat adalah aku mengatakan Aby sebagai gadis tidak berguna –kami tidak bertegur sapa hampir sebulan lebih karena ucapanku tersebut.

Setelah ketidakadanya dirinya selama ini, terkadang aku merindukannya. Merindukan dalam arti aku menyadari kehilangannya namun bukan dalam arti aku menginginkannya kembali. Dia sosok yang selalu membuatku kesal dengan keberhasilannya mendapatkan apa yang diinginkannya. Mendapatkan siapapun yang dia inginkan. Dan jika saat ini dia mengenal Cho Kyuhyun, aku seratus persen yakin dia mampu memikatnya. Aku setuju jika kepergiannya adalah hal terbaik untuknya, juga untukku.

Hanya memikirkannya saja membuatku mendadak sangat kesal.

Namun langsung tersadar kemudian tercetus menjadi sebuah pertanyaan; kenapa aku harus begitu kesal? Siapa memangnya Cho Kyuhyun?

Rasanya ingin cuci otak jika yang tidak ingin kupikirkan malah menjadi terkait dengan hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya.

Sialan!

Karena terlanjur mengingat Cho Kyuhyun –lagi, maka kuputuskan untuk bangkit dari tidurku. Aku tahu aku tidak akan mudah tidur jika sudah mengingat hal-hal yang berkaitan dengan lelaki itu, dia sudah meniupkan mantra untuk membuatku sepenuhnya terjaga.

Dini hari, waktu langit berwarna ungu dan seisi rumah (dalam hal ini hanya Mom, Dad, dan satu perawat) penuh dengkuran, aku duduk, bersama buku catatan usangku yang bermotif hitam putih. Aku membuka lembar demi lembar, membaca sekilas tulisan-tulisan lama. Tulisan hasil gores-menggores sampai tanganku dan kadang-kadang hatiku sakit. Tanganku akhirnya berhenti pada tengah-tengah halaman, pada tulisanku yang terakhir.

Tulisanku yang terakhir adalah satu-satunya saksi mata dari sebuah harapan kejam untuk Aby. Di situ tertulis doa berisi Aby merasakan sakit lagi dan dia tidak ikut pesta hallowen, agar aku bisa pergi bersama Mac –kekasih Aby yang sebenarnya lebih dulu kukenal dan kutaksir setengah mati kala itu. Tanpa meninggalkan jejak confetti rasa bersalah, aku juga menulis kalau aku berharap tidak mendengar suara Aby untuk selamanya. Membacanya lagi sekarang, aku tersenyum miris. Itu ketidakwarasanku yang menakutkan.

Aku tidak pernah sekalipun berniat melenyapkan buku itu, meski sekali Mom pernah menemukannya di dalam laci meja belajarku dan membacanya hingga isi kepalanya nyaris meledak karena marah. Yang kukatakan saat itu adalah; Mom, kau tidak berhak murka padaku. Buku ini satu-satunya tempat dimana aku bisa mencurahkan jiwaku. Semua cerita yang kurasakan yang takbisa kuceritakan padamu, pada siapapun, semuanya ada di sini, jadi jangan suruh aku menghancurkannya. Buku ini seperti belahan jiwaku.

Alasanku mulai menulis adalah Aby dan alasan aku berhenti adalah Aby.

Sekarang, ketika tanganku mulai bergerak di atas kertas lagi, aku tidak memikirkan Aby. Aku menulis nama Cho Kyuhyun di garis kedua pojok kiri atas.

Cho Kyuhyun yang membuatku insomnia beberapa malam ini.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now