duabelas

117 34 5
                                    

Mom memperhatikanku yang nyaris tidak menyentuh mangkuk serealku pagi ini sementara aku memandangi benang hijau yang bergelantungan dari tatakan piring. Aku beritahu ya, sekarang aku benar-benar kehilangan kepercayaan diri di depannya. Jika bisa memilih, aku lebih baik tidak makan dibanding harus melihat wajah Mom. Meski aku benci mengakuinya, tapi itu kenyataannya.

Urat maluku benar-benar putus bersamaan dengan Hari H yang ditunggu lewat dan berakhir begitu saja. Bagaimana ekspresi bahagia Mom yang terukir indah dari sepasang bibirnya yang menyunggingkan senyum perlahan memudar seiring detak jarum jam yang terus berputar, langit terang yang berubah jadi gelap lalu menjadi terang lagi, wangi parfum yang luntur dan terganti oleh wangi embun pagi hari, aku ingat bagaimana binar-binar bahagia di mata Mom berubah menjadi sekumpulan kristal bening yang mengumpul berusaha dia tahan untuk tidak jatuh. Aku sama sekali tidak bisa diandalkan.

Mom mendesah dan aku merasa tanganku diremas pelan. "Kau baik-baik saja, Al?"

Aku menoleh ke arahnya, senyum canggung tersungging di wajahku. Aku belum bisa menemukan suaraku.

"Tidak apa-apa, Al. Aku sama sekali tidak kecewa. Mungkin Tuhan berencana memberiku waktu lebih lama sehingga punya kesempatan untuk melihat mereka lain kesempatan nanti."

Pembohong. Aku tahu dia sedang berbohong. Matanya yang hijau cerah telah berubah menjadi lebih pekat yang merupakan tanda kalau dia sedang berbohong.

"Semua sudah digariskan, Al. Salah satunya adalah tidak bisa melihat konser Super Junior. Aku sungguh tidak apa-apa. Kau tidak perlu begitu merasa bersalah padaku, malah harusnya aku minta maaf karena sudah membuatmu bersedih. Aku tak akan pernah memaafkan diriku jika permintaanku malah membuatmu terluka."

"Kau tidak perlu minta maaf, Mom. Aku tak pantas mendapatkannya."

Mom mengangkat pandangannya, mengawasiku dengan raut wajah lembut seperti biasanya. "Aku tidak sekecewa itu. Jika sampai waktunya tiba dan aku masih tidak bisa melihat mereka secara langsung, aku masih bisa mengandalkanmu untuk bertitip salam pada mereka. Iya, kan, Al?"

Senyumku lenyap tak berbekas. "Berhenti mengatakan hal-hal aneh, Mom." Tegurku. Dan menitipkan salam untuk Super Junior? Aku menahan diri untuk tidak mengumpat di depan Mom. Seperti aku sudi saja bicara lagi pada salah satu anggotanya.

Dan seharusnya sekarang aku merasa baikan setelah Mom terang-terangan mengatakan dia baik-baik saja, kan? Mesti aku tahu dia bohong. Tapi tidak, perasaanku tidak berubah sama sekali. Aku tetap merasa kesal, merasa kecewa, sangat marah, dan merasa tidak berguna.

"Aku menyukai senyum... siapa nama laki-laki itu, Al? Lidahku sulit mengucapnya."

"Leeteuk."

"Ah, benar. Leeteuk." Mom tersenyum. "Aku memang menyukai senyum Leeteuk, tapi tidak sebesar rasa sukaku saat melihat senyummu. Senyummu yang terbaik."

Terbaik. Yah, yang terbaik. Karena yang termanis hanya milik Abiageal saja.

∞∞∞

Aku pernah mengidolakan seseorang sampai begitu rupa. Kala itu umurku baru menginjak tujuh tahun, yang untuk anak-anak pada masa itu sangat jarang terjadi. Adalah kepada seorang pelayan masyarakat yang sering melakukan patroli lalu lintas di komplek tempat tinggalku. Alasanku menyukainya karena dia selalu terlihat tegas dan penuh percaya diri ketika melihatku berlari dari dalam rumah untuk melihatnya dari belakang pagar halaman. Dia sosok yang terlihat seperti Superhero dalam balutan seragam polisi. Dalam benakku, aku selalu menghayalkan dirinya berlari kencang untuk menyelamatkan segerombol anak perempuan kecil yang akan diculik, membagikan lolipop untuk beberapa temanku yang gemar menangis, dan mengusir hantu yang sering mengambil mainan kesayanganku.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now