enambelas

116 27 5
                                    

"The best conversations always happen late at night."



Dad biasanya memiliki banyak protes dan kritikan yang selalu dia suarakan saat aku duduk manis di bangku mobil belakang bersamanya seperti sekarang ini, dari banyak hal yang sebenarnya aku tidak tahu dan tidak kuperhatikan, supaya aku tahu dunia dan bisa menghadapinya kelak, katanya –sebuah ungkapan klise yang sudah kudengar hampir seumur hidupku. Dad tidak pernah menyentuh surat kabar jika aku ada di sebelahnya, dia akan membuatku menatap matanya selama dua puluh menit sepanjang perjalanan menuju Kyung Hee, tidak akan membiarkanku menempatkan sisi kepalaku bersandar pada kaca mobilnya yang super mahal ini. Semua perhatianku harus ditujukan untuknya.

Tapi tidak ada kata biasanya untuk hari Selasa kali ini. Dad membaca surat kabar. Dia diam untuk lima menit pertama sebelum mendadak bertanya, "kau suka menu sarapan tadi?" padaku.

Aku melongo, tentu saja. Sarapan? Huh?

Ayahku adalah seorang investment banker, kerjanya mengurusi dua perusahaan yang ingin disatukan, men-takeover sebuah perusahaan yang artinya membeli semua saham atau asetnya, membantu perusahaan-perusahaan swasta atau investor instuisi mengembangkan dana ekuitas swasta mereka. Ayahku adalah orang cerdas yang topik obrolannya tidak pernah jauh-jauh dari kata dollar. Seorang yang kritis saat berkomentar mengenai penyebab pertumbuhan ekonomi yang melambat di Negara berkembang kawasan Asia Timur dan Pasifik, dan sesekali mengkritik calon pemimpin negara yang menampilkan sosok sederhana dan melawan imperealisme barat namun mempermalukan ajudannya dengan cara yang konyol. Seperti itulah dia yang aku kenal. Bukan seseorang yang menanyai putrinya tentang menu sarapan.

"Kentang panggangnya terlalu matang menurutku. Apa kau juga berpikir begitu?"

Aku hanya memberi sebuah anggukan saat aku tidak tahu harus menjawab pertanyaanya. Dad seharusnya tahu kalau pagi ini aku tidak bergabung dengan tradisi makan bersama di sebuah meja makan besar dengan menu yang setiap hari nyaris selalu sama. Dia menanyakan hal yang salah.

Dad membalas tatapanku sejenak sebelum kembali ke surat kabar dan membalik halaman. Diam menjadi pemenangnya, lagi.

Aku menarik ponselku dari dalam tas. Memeriksa beberapa email yang tidak sempat kulakukan semalam. Ada dua pesan dari Goodreads –sebuah situs yang kuikuti untuk mendapat info tentang buku yang baru rilis, satu pesan dari Len yang selalu diawali dengan pertanyaan; Al, Kau sedang apa?, dan satu lagi pesan berupa pemberitahuan dari Yahoo mengenai percobaan sigh-in yang tidak diinginkan, tidak perlu khawatir karena itu adalah aku yang mencoba sigh in lewat ponsel Mom kemarin.

Aku melirik Dad setelah memasukkan kembali ponselku ke dalam tas, dia tidak terlihat seperti orang aneh yang kerasukan Alien tadi malam. Wajahnya terlihat seperti biasanya, tampan, kentang panggang terlalu matang tidak membuat pipinya bengkak. Hanya saja sudah ada sedikit bulu halus yang tumbuh di dagunya yang pagi tadi sepertinya tidak sempat dia cukur.

"Dad,"

"Ya, Allana?"

Aku sedikit terpenjat karena terkejut mendapati ayahku merespon panggilanku sepersekian detik bahkan sebelum dua bibirku menempel, menjelaskan kalau kegiatan membacanya hanya sebuah kamuflase untuk membodohiku. Memang mata Dad tidak terlihat sedang menyembunyikan sesuatu dariku, hanya rasa-rasanya sikapnya seperti orang linglung yang tidak tahu harus berbuat apa, dan bagaimana. Seperti orang...gelisah?

"Aku sudah sampai." Kataku.

"Oh, benarkah?" Dad melipat surat kabarnya, menaruh di space kosong antara kami lalu mengedarkan pandangannya keluar kaca. "Kau mau dijemput nanti?" Tanyannya. "Aku akan di kantor sepanjang sore dan sopirku bisa pergi untuk menjemputmu."

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now