EMPAT

205 77 20
                                    




"From the moment i first set eyes on you,

i haven't been able to stop thinking about you."


Pagi tadi aku terbangun pukul empat lebih tiga belas menit. Dingin. Aku ingat itu silebel pertama yang keluar dari mulutku, mungkin sekitar sembilan derajat Celcius suhunya. Aku lupa menghidupkan pemanas ruangan semalam akibat kesal pada Dad yang mengingatkanku sepanjang waktu untuk mengikuti kelas profesor Park. Seratus persen terjaga meski sudah kucoba menggulung tubuhku dengan selimut supaya kembali tertidur, tapi tololnya aku malah turun dari ranjang lalu mulai membuka-buka buku panduan Scoring and Jazz sembari menunggu matahari terbit untuk memulai hari. Singkatnya, aku sudah mempersiapkan diri untuk tertekan menghadapi hari ini.

Dad yang mengantarku dan menurunkanku di pinggir jalan tepat dua puluh meter sebelum masuk ke area parkir Kyung Hee. Aku awalnya tidak tahu kemana perginya sopir yang Dad pekerjakan kurang lebih sekitar lima bulan lalu, sampai ketika rasa bosan akibat mendengarkan bunyi gumaman ban dan pemandangan garis-garis kuning di jalanan tidak bisa ditolelir, aku akhirnya tahu kalau Dad sudah memecatnya sejak supir tersebut tidak bisa menemukanku di kampus. Aku tahu Dad jahat, tapi aku tidak tahu kalau dia kejam.

Dua april, seperti petuah Dad –jangan membuatku malu, aku duduk di salah satu kursi kelas Film Scoring and Jazz Orchestra. Rasanya tidak nyaman di sini. Aku dikelilingi oleh sekumpulan seniman berumur tua yang membosankan. Mereka berceloteh mengenai hal-hal yang tidak aku mengerti, hanya beberapa yang bisa kuterjemahkan dari percakapan berdurasi lima belas menit sebelum professor Park tiba; graphicology proyek Jazz visual score dari brussels Jazz Orchestra dan Phillip Paquet, pianis Roberta Piket memainkan musik solo, dan Cape Town International Jazz Festival di Afrika selatan bulan Maret kemarin. Aku tidak bodoh, masih seperti yang kukatakan sebelumnya, aku belum terlalu bisa berkomunikasi dengan bahasa mereka.

Orang sepertiku termasuk dalam kaum minoritas di ligkungan ini. Jika tidak memiliki rambut hitam seperti penduduk kebanyakan, jika tidak memiliki mata cokelat seperti orang-orang, jika bukan dari suku asli penduduk suatu Negri, jika berada dalam level ekonomi rendah atau terlahir dari sebuah keluarga jutawan, jika kepercayaan yang dianut berlainan, jika kondisi fisik terlalu sempurna, maka bersiaplah untuk menjadi salah satu dari sekumpulan kecil kumpulan yang tak dilihat, kaum minoritas. Keberadaanku bukan masalah penting dan tidak berpengaruh untuk mereka.

Orang-orang tua itu sangat ekpresif menunjukan perasaan mereka tanpa menyadari bahwa kelompok kecilnya baru saja kemasukan seorang asing. Jujur, aku malah senang. Aku tidak perlu berpura-pura menjadi bukan diriku. Mereka akan mudah berlalu dari ingatanku selayak anai-anai yang terbang terbawa angin. Seperti yang sudah-sudah.

Professor menempati podiumnya di depan delapan meja yang sudah disatukan menjadi satu dengan beberapa kursi yang mengelilingnya. Bukan karena penampilannya yang sudah bisa digolongkan dalam kaum lansia yang membuatku terkejut, atau suaranya yang masih cukup terdengar lantang diumurnya yang tidak lagi muda, melainkan karena kehadirannya tadi yang dibarengi suara gaduh yang berasal dari luar ruang kelas. Jangan berpikir kalau suara gaduh itu sebagai penyambutan untuk sang profesor, jeritan tolol itu ditujukan untuk sesosok laki-laki yang berjalan di sebelahnya.

Aku tidak pernah berkhayal memiliki seorang classmate dengan segudang fans. Apalagi duduk saling berhadapan dengannya seperti sekarang. Apa yang akan terjadi pada Mom seandainya dia tahu aku memiliki kelas yang sama dengan salah seorang Rekan-Sahabat-Adik dari lelaki yang menurut Mom pantas menjadi suamiku? Apa Mom akan seperti gadis-gadis di belakang pintu yang rela berdiri berjam-jam menunggu untuk sebuah autograph?

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now