duapuluhsatu

114 29 1
                                    

Ini sudah tiga hari sejak pemakaman namun Barbara beserta keluarganya yang luar biasa itu masih ada di rumahku. Menyenangkan seharusnya karena kami sudah tidak berjumpa lebih dua tahun, tapi itu jika mereka tidak bersikap sangat-sangat menyebalkan, sayangnya mereka lebih memuakkan ketimbang yang kuingat. Dalam hal ini Barbara dan Ibunya.

Aku membenci mereka. Dan aku memiliki alasan kenapa aku bersikap begitu sialan pada mereka.

Ayah barbara bernama Alex Harper, adalah satu-satunya saudara sedarah Mom dan lebih tua enam tahun darinya. Dia menikahi seorang model lokal yang kebetulan tidak terlalu terkenal bernama Claire Kotecha. Mereka tinggal di Dublin selama empat tahun sebelum memutuskan untuk menetap di Tokyo.

Ada beberapa kenangan manis saat Uncle Alex tinggal di Dublin di rumah Grandma yang tidak bisa kulupakan. Dia selalu memberiku candy beraneka rasa sepulang kerja secara diam-diam supaya Barbara tidak melihat, mengatakan padaku kalau itu adalah hadiah karena aku memiliki senyum semanis candy. Aku ingat aku menyukai rasa rasberry dan dia membelikanku sekotak besar. Dia juga sering memintaku memijat pundakya, dan sebagai imbalannya dia akan membelikanku buger jumbo McDonald. Uncle Alex tidak keberatan menjemputku pulang sekolah kalau Dad tidak bisa, aku akan duduk di kursi depan sementara Aby dan Barbara duduk di belakang. Dia akan mengajakku berkeliling komplek naik sepeda kalau aku sedang menangis karena kesal pada Dad. Tapi yang paling membuatku senang adalah dia tak pernah memperlakukan Aby sebaik dia memperlakukanku.

Claire Kotecha, Ibu Barbara, adalah tipikal wanita yang tidak kusukai. Dari segi wajah sampai sikapnya. Dia memiliki kening cukup lebar dengan dagu runcing hasil peralatan bedah dokter kecantikan. Tidak memiliki lipatan mata juga alis yang selalu digambar lebih runcing ke atas dan tipis. Ada kekejaman yang terpancar dari raut mukanya yang standart. Alasan kenapa Uncle Alex menikahinya pun kuyakin karena pamanku itu merasa kasihan padanya.

Barbara sendiri tidak lebih cantik dari Ibunya. Beruntung dia karena dalam beberapa hal wajahnya lebih condong menuruni garis wajah Ayahnya; mata lebar, hidung bangir, bibir tebal yang membuatnya terlihat sexy. Rambutnya yang cokelat kemerahan adalah satu-satunya bukti ibunya adalah ibunya.

"Alex tidak lama ini menunjukkan sebuah rumah bergaya victoria di Hongkong." Kata Claire saat kami duduk di meja makan pada malam ke empat keluarga itu menginap. "Kami berencana pindah ke sana dalam waktu dekat."

"Hm, dan semua fasilitas yang kuimpikan semua tersedia. Daddy selalu tahu apa yang kuinginkan. Thank you, Daddy."

"Barbara sangat senang ada kolam renangnya. Bisa jadi dia akan mengajak anjing kecilnya berenang bersama."

"Mommmm, Chunky tidak bisa berenang."

"Kau tahu apa yang kumaksud, sayang."

Dan mereka tertawa. Aku tidak menemukan hal lucu dalam orolan Ibu-Anak ini.

"Al, kau harus main ke rumah baru kami kapan-kapan." Kata Barbara. Menyendok satu potong daging sapi yang dimasak dengan sedikit kecap menyerupai warna lumpur. "Aku akan menunjukkan tempat-tempat hebat di Hongkong saat kau datang nanti."

Aku tak tertarik sama sekali.

"Ada banyak kamar kosong di sana. Kau boleh memilih kamar yang kau inginkan sesukamu."

"Rumah yang masih dalam rencana ingin kalian tempati?"

"Akan segera ditempati."

"Kapan?"

Barbara memasukkan sendoknya ke dalam mulut menghindari menjawab pertanyaanku. Pertanyaan yang sebenarnya sangat gampang di jawab asal yang mereka bicarakan bukan hanya omong kosong belaka.

22nd Journey [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang