duapuluhempat

93 24 1
                                    

Dad tidak bicara padaku selama tiga hari, dan empat hari aku tidak melihatnya. Intinya, kami tidak saling bicara selama tujuh hari. Bukannya aku mencari-mencari Dad, tapi baiklah, aku memang sedikit mencarinya. Meskipun aku dan Dad jarang bicara, bicara seperlunya saja, Dad tidak pernah tidak jauh dari radar kemampuan mataku melihat. Nyaris rasanya keberadaan Dad sudah seperti bayanganku. Selalu ada meski kadang tak terlihat.

Sepertinya Dad menghindari bertemu dengankku dan bicara padaku sejak aku mendorongnya menjauh dariku di malam ulang tahun Aby. Kurasa dia benar-benar tak mentolelir sikapku kali ini. Silahkan saja. Tapi sangat sulit untuk bersikap tidak peduli terlebih waktu sarapan, karena di atas meja makan berukuran besar ini hanya terlihat ada satu piring dan satu gelas air minum.

Aku menanyakan Dad pada Bibi Gong saat dia menyiapkan sarapanku di atas meja. Sayangnya, wanita itu tidak menjawab dengan jelas. Dia hanya mengatakan, "sepertinya belum keluar dari kamarnya."

Mungkin Bibi Gong masih sakit hati padaku karena mengusir Perawat Kim pergi dan mengatakan padanya untuk tidak perlu datang lagi kemari dua hari yang lalu. Tentu yang kulakukan itu tidak salah, seratus persen benar. Untuk apa seorang perawat tinggal di dalam sebuah rumah yang penghuninya sehat-sehat saja? Bakat dan keterampilannya dalam menyembuhkan dan merawat orang lain akan berguna jika dia keluar dari rumahku. Tapi sepertinya Bibi Gong tidak berpikir sejauh itu. Dia hanya berpikir, jika Perawat Kim masih tinggal di rumah, itu tandanya dia punya teman.

Bibi Gong kesepian.

Lalu bagaimana denganku? Apa ada seseorang yang berpikir kalau aku sama kesepiannya sepeti Bibi Gong? Atau mungkin karena aku terbiasa hidup seperti tak memiliki siapa-siapa membuat mereka berpikir kalau aku tak tersiksa dengan perasaan semacam itu?

Baguslah. Aku tak butuh orang untuk mengasihaniku.

Ketika berjalan lewat depan pintu kamar Dad, aku tidak tahan untuk tidak melihat ke dalam. Yang artinya aku melihat barang-barang peninggalan Mom yang masih berada di posisi yang sama sebelum Mom pergi. Ada teko kecil terbuat dari keramik yang jadi hiasan meja nakas, mantel bulu yang digantung di sebelah meja rias, bunga angerek putih dalam vas yang mulai layu, peralatan make-up Mom yang terjejer rapi di meja rias, dan selimut wol yang menghangatkan tubuh Mom dari malam-malamnya yang dingin. Kesedihan itu mengepung lagi, bahkan sebelum benar-benar pergi.

Dad tidak ada di atas ranjangnya tapi aku mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandinya. Aku menarik gagang pintu cepat dan pergi. Aku sudah menghabiskan nyaris setengah jam untuk membuat garis hitam di bawah mata dan menyapukan maskara di bulu mata setelah sebelumnya dibutuhkan setengah jam pula untuk merasa puas dengan hasil make-up ku yang seadanya; sedikit foundation, bedak padat, dan blass on. Tentu aku tidak ingin semua usahaku untuk membuat diriku terlihat "seperti aku yang biasanya" jadi berantakan. Dan menjadi cry-baby yang menangis di depan pintu kamar orangtuanya sama sekali bukan gayaku.

Aku tidak ingin mengasihani diri sendiri tapi memang hidup itu membosankan, membosankan, membosankan. Maksudku, tiga tahun yang lalu aku masih terbangun di kamarku yang yang seumur hidup dindingnya berwarna cokelat muda, berdebat dengan Aby setiap pagi karena menu sarapan, bertemu dan menghabiskan setengah hari mengenyam bangku sekolah, pulang ke rumah dan tidur sepanjang sore atau bersembunyi di rumah Len sampai waktu makam malam, kemudian tidur. Saat itu setengah mati aku mengharapkan sesuatu terjadi pada siapa saja, kalau bukan aku. Lalu semuanya terjadi. Aby meninggal. Dad memboyong Aku dan Mom pindah ke Seoul, aku bangun di kamar bercat merah muda setiap pagi, duduk manis sebagai mahasiswa modern music, berdebat dengan Dad, melalukan apa saja yang tidak ingin aku lakukan. Lalu Mom menyusul Aby. Meninggal. Hidupku yang semula seperti garis lurus, dengan semua rangkaian kejadian yang terjadi di hidupku tiga tahun belakangan, pada akhirnya tetap membawaku pada hidup yang membosankan.

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now