Unexpected Life - PART 42 (Revisi)

4.8K 176 10
                                    

"Saat itu, aku melihat wajahmu ini di layar kaca komputer Feli. Melihat cara bicaramu, senyummu, tawamu, membuat aku ikut tersenyum. Aku terus menanyakan kabarmu pada Feli. dan saat Feli berkata kalian akan pulang kemari, aku menawarkan tempat tinggalku."

Aku menjatuhkan daguku. Jadi semuanya memiliki tujuan. Kukira ia baik hati seperti yang Feli ceritakan. "Tapi ... Tapi kau bersama Kate saat itu."

Dia terlihat serba salah sekarang. "Kate. Hmm... Saat itu aku akui, aku cukup brengsek. Aku menyukaimu disaat aku berpacaran dengannya. Tapi aku cuma manusia biasa, aku tidak bisa menahan perasaanku."

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "Lalu bagaimana caramu bisa membuat pihak apartemen melarangnya masuk?"

"Aku tinggal memberi perintah ke bagian keamanan," ucapnya spontan dan tersadar. Aku melongo menatapnya. Mataku membesar dan mulutku terbuka lebar.

"Memberi perintah?"

"Memberi perintah?" ulangku lagi.

"Okay, okay. Aku mengaku salah. Ya. aku memberi perintah. Sebenarnya ... "

"Sebenarnya?" desakku.

"Sebenarnya apartemen itu milikku."

Aku mengerutkan dahi, "Ya apartemen itu memang milikmu. Aku tahu."

Lou mengusap wajahnya. "Bukan. Bukan hanya apartemen yang kita tinggali, melainkan satu gedung itu, milikku," gumamnya pelan.

Mataku terpejam. Kebohongan lagi. Bahkan lebih besar dari yang pertama. Otakku mulai berpikir. Jika satu gedung itu miliknya, maka dia sebenarnya sama saja seperti Edward. Aku memilih diam dan fokus pada boneka salju. Aku tak ingin menanyakan apapun lagi. "Kau marah padaku?" tanyanya.

"Tidak." Memang tidak. Aku tidak berhak marah padanya.

Boneka salju kami pun akhirnya selesai. Aku mengeluarkan ponselku untuk memotretnya. Lou  membantuku mengambil gambarku dengan boneka itu. "Ayo kita foto bersama," ucapnya.

   Saat Lou akan menekan tombol shutter, ia mengecup keningku dengan pelan dan lembut. Aku terkejut. Kemudian ia menurunkan kameranya dan menatapku dalam. "Aku akan menunggumu sampai kau membuka hatimu untukku," ucapnya lembut.

*

    Salju makin tebal mendekati hari natal, udara pun semakin dingin. Hari ini aku diijinkan pulang lebih awal karena ingin menyiapkan sesuatu.

    Saat masuk ke dalam apartemen, aku tidak mendapati seseorang pun di dalam. Kemana mereka semua? Seingatku mereka mengatakan tidak memiliki acara hari ini.

    Besok adalah hari memperingatinya diriku lahir ke dunia ini, jadi hari ini aku ingin merayakannya bersama Feli dan Angel. Mereka sudah mengetahuinya, sedangkan aku sendiri tidak mungkin lupa. Bagaimana sibuknya aku, tanggal hari ini tidak pernah aku lupakan.

    Saat aku selesai membersihkan diri, aku mendapatkan memo diatas meja makan.
'Aku pergi ke taman belakang untuk menemui seseorang. Siapapun yang membaca ini, jika aku tidak kembali dalam waktu setengah jam setelah kalian membacanya, tolong cari aku! - Fels'

    Aku membaca ulang isi memo tersebut, "Apa ini? Akal-akalan mereka?" Berhubung mereka mengetahui tentang besok, aku berpikir mungkin ini hanya akal-akalan mereka.

    Sedetik kemudian aku mengubah pikiranku, bagaimana kalau ternyata itu bukan bohong? Imajinasiku mulai bergerak secara acak, beberapa pikiran-pikiran gila mulai melintas di pikiranku.

    Dengan segera aku meraih mantel musim dinginku dan pergi keluar. Aku berjalan dengan sedikit berlari menuju taman belakang dimana tidak ada siapa-siapa disana. Mataku mencoba mencari adakah tanda-tanda Feli atau yang lain, yang mana siapa tahu mencoba membohongiku. Tapi hasilnya nihil.

    Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang, membuatku reflek mengayunkan tanganku.     "Aw!" teriaknya.

     "Ugh! Lou?"

    "Gerakan yang bagus Shelly," ucap Lou sambil mengusap pelan wajahnya. Aku hanya menyeringai bersalah.

"Adakah yang menyuruhmu mengejutkanku?"

    "Bukan kejutan namanya jika kau tidak terkejut," Louis tertawa sesaat, lalu menampakkan sebelah tangannya yang sedari tadi tersembunyi di belakang punggungnya.

    Aku terpana dengan mini cake berbentuk pita biru dengan beberapa lilin diatasnya. Lou menyalakan lilin-lilin itu sambil bernyanyi untukku.

    "Jerman?" tanyaku.

    "Perancis." Lou tersenyum padaku. "Sebaiknya kau tiup sekarang lilinnya sebelum didahului oleh angin malam ini."

     "Tapi aku tidak ulang tahun hari ini."

     "Aku tahu. Aku ingin merayakannya bersamamu satu hari lebih cepat."

     Aku meniup satu persatu lilinnya. Tiba-tiba aku teringat dengan memo yang kudapat, "Dimana Feli dan Angel?"

    "Mereka mengijinkanku memonopolimu hari ini untuk yang terakhir kalinya."

    Aku tertawa mendengar kata-katanya, "Kau terdengar seperti akan pergi jauh dan tidak pulang lagi." Selanjutnya aku terdiam karena ternyata raut wajahnya tidak menyangkal kata-kataku. "Ada apa?"

    Pandangan matanya menatapku sedih, "Ibuku memintaku untuk pindah ke London karena beberapa hal." Kini giliranku terdiam. Kedua pasang mata kami bertemu, ia menunggu respon dariku, namun aku hanya bisa menatapnya dalam diam. "Shelly?"

   "Kapan?"

   "Besok pagi, penerbangan pertama," ucapnya. Aku menyadari satu hal, ia bahkan sudah membeli tiketnya.

    Lou memegang wajahku dengan kedua tangannya. Aku bahkan tidak menyadari kapan ia meletakkan kuenya di kursi dekat kami. "Shelly, dengar," aku menatap matanya. "Aku ingin kau bersikap jujur kali ini, abaikan semua hal-hal yang mengganggumu dan cukup dengarkan saja hatimu," ia menarik napasnya dan menghembuskannya, "jika kau menginginkanku untuk tetap tinggal, maka katakan."

    Ya, aku ingin. Aku ingin mengatakan demikian, namun aku tidak bisa menuruti perkataannya untuk mengabaikan hal-hal lain. Ini sangat mengganggu. Bukankah ini yang kuinginkan, menolaknya artinya menginginkannya pergi.

    Dadaku terasa sesak dan kedua mataku terasa panas. Aku mencoba menahan hasrat dalam diriku yang ingin memeluknya sambil menangis, mengatakan padanya untuk tetap tinggal. Aku tahu, aku tidak bisa bersikap egois.

    Aku tidak mengerti perasaan apa yang sedang kurasakan saat ini. Segalanya terasa sakit saat mendengar ia akan pergi dan tidak akan kembali. Sesuatu dalam diriku terasa kosong.

    Apa yang harus aku katakan? Memintanya untuk tetap tinggal? Tapi bisakah aku membalas sebesar perasaanya?

   "Shelly, katakan sesuatu." Ia menatapku khawatir, karena sekian lama aku berada dalam pikiranku.

   "Ayo, kita bersenang-senang," ucapku pelan. Kemudian aku melihat wajahnya yang terlihat tidak yakin dengan apa yang baru saja di dengarnya. "Ayo kita pergi dan lakukan sesuatu untuk terakhir kalinya," ulangku. Aku memberinya sebuah senyuman untuk meyakinkannya.

    Wajahnya menampakan sebuah kesedihan yang amat dalam. Ia mengalihkan pandangannya dariku, kemudian menghela napas dan kembali berbalik padaku. "Baiklah. Hal terakhir yang ingin kulakukan bersamamu yaitu menjadi kekasihmu. Sampai nanti malam, kau milikku."





Dont Forget The Votes Button guys.

R.V

Unexpected Life [COMPLETED]Where stories live. Discover now