Unexpected Life - Part 23 (Revisi)

2.1K 146 5
                                    

Aku terbangun karena mendengar suara ribut di luar.

      "Tidakkah kalian tahu ini jam berapa?"tanyaku pada mereka begitu aku keluar dan mendapati mereka sudah akan saling memukul. Aku melihat pakaian yang dipakai Lou masih sama dengan semalam, kurasa ia baru pulang dan melihat Ed tertidur di sini.

         "Bagaimana bisa ia disini?" tanya Lou padaku.

         Aku menghela napas berat. "Ia mabuk dan datang kemari. Hanya itu," jawabku seadanya. Setelah itu aku pergi membersihkan diri tanpa menatap mereka lagi. Setelahnya aku membuatkan mereka sarapan. "Sarapanlah lalu pulang," usirku secara halus pada Ed.

        Ia menatapku dengan sedih. "Kita harus bicara."

        "Menurutmu aku mau?" Aku menatapnya tajam. Aku cukup marah dengan seluruh perilakunya beberapa hari ini, tanpa kabar, datang-datang dalam keadaan mabuk lalu dengan mudahnya ingin dimaafkan setelah mengucapkan kata 'maaf'.

        "Aku minta maaf, jika itu yang kau mau." Aku menatapnya sesaat, namun aku tahu di atidak benar-benar merasa bersalah.

       "Aku sudah tidak menginginkannya. Kenapa tidak kau lakukan dari kemarin?"

       "Aku tidak bisa," ia menunduk dan mengepalkan tangannya.

        "Tentu saja. Kau dan egomu,"sarkasku.

        Dia mengacak kesal rambutnya. "Aku benar-benar perlu berbicara denganmu Mita," ia mengucapkan namaku, berarti ia sedang menahan kesalnya. Kulihat Louis keluar dari kamarnya setelah ia membersihkan diri.

         "Bicarakan saja disini," ucap Lou. Rupanya dia mendengar pembicaraan kami. Ed menatapku seakan bicara 'tidak dengan Lou disini'.

         "Baiklah kita bicara diluar saja." Aku melihat Lou sudah akan menyelaku. "Lou please, aku ingin menyelesaikannya," ucapku sebelum dia.

         Lou hanya menatapku tidak percaya. Aku keluar dari apartemen terlebih dahulu dan diikuti oleh Ed. Aku memutuskan untuk tidak pergi jauh, hanya sebatas di depan sini saja.  "Katakan," sahutku.

          "Aku ingin meminta maaf walau kutahu itu tidak berguna. Tapi aku sungguh menyesal. Waktu itu aku tidak bisa berpikir melihatmu berjalan bersama pria sialan itu selama dua hari berturut-turut."

       "Namanya Kirito," aku membenarkan kata 'sialan' yang disebutkannya.

       "Persetan dengan namanya Mita! Ia membuatku melakukan hal yang tidak pernah kulakukan seumur hidupku!" teriaknya marah.

       "Karena kau tidak berpikir dengan sehat. Ia hanya membantuku, ini semua adalah rencanaku."

        Ed menghembuskan nafas kesal, "Haruskah aku mengucapkan terima kasih padanya?"

        "Itu lebih baik daripada memukulnya," aku menyilangkan kedua tanganku didepan dadaku.

        "Aku ingin memperbaiki semuanya Mita,"Edward mencoba meraihku, tapi aku menjauh.

        "Menurutmu aku akan memberikanmu kesempatan lainnya?" Aku terus mencoba mendesaknya untuk berpikir bahwa tidak semudah itu aku akan selalu memberikan kesempatan padanya. Aku tetaplah wanita.

        "Kita sedang dalam masa percobaan dan kurasa aku bisa meminta hal itu."

        Aku menatapnya marah. Bagaimana mungkin ia bisa dengan santainya berkata seperti itu setelah  menyakiti hati orang lain? Apakah dia tidak punya perasaan? "Aku tidak peduli lagi dengan perjanjian sialan itu!" bentakku.

        "Mita..."

        "Berhenti memohon seperti itu. Lebih baik kau perbaiki otakmu itu sebelum memohon."

        "Apa yang kau inginkan? Katakan saja," ucapnya. Aku ingin berkata akhiri semuanya, pikirku. "Kau tidak bisa meminta yang satu itu, Mita," lirihnya.

        Aku semakin membencinya sekarang, ia seolah-olah bisa membaca pikiranku. "Berikan aku alasan," tantangku.

          "Aku belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, kau bisa bertanya pada Louis. Kemarin benar- benar diluar akal sehatku. Ini pertama kalinya bagiku, dan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua bukan?"

         Aku tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini, melihat wajahnya benar- benar meluluhkanku. Kemarahanku mereda saat itu juga. "Aku membutuhkan kesempatan kedua Mita. Aku tahu aku berhak mendapatkannya," sambungnya.

       Aku menengadahkan kepalaku dan menarik napas dalam. "Baiklah. Kesempatan kedua. Tapi tidak dengan ketiga," tegasku.

        Ed tersenyum lega dan memelukku.

*


Aku mengantar Ed menuju mobilnya setelah makan malam bersama di apartemenku. "Terima kasih untuk malam ini dan kesempatannya." Ia menggenggam tanganku dan menempelkan di bibirnya.

         "Sama-sama Ed. Kau harus belajar lebih normal," ucapku. Edward tertawa.

         "Dari banyak kata, kau memilih kata normal?"

        Aku mengangguk. "Aku menginginkan hubungan ini berjalan layaknya pasangan biasa Ed. Kau dan aku, kita menghabiskan waktu bersama. Kuncinya hanya satu, komunikasi. Kau bisa?"

        "Aku mengerti," ia mengangguk kecil.

        "Kau yakin?" Aku tidak pernah yakin sejujurnya untuk tipe pria seperti dia. Aku tahu, komunikasi adalah hal tersulit untuknya yang terbiasa melakukan hal-hal nya sendiri.

        "Tentu saja. Aku akan mengusahakannya," Ed mencium keningku lama dan aku hanya memejamkan mataku, mencoba mencari perasaan nyaman saat bersamanya.

        Ed melepas ciuman dikeningku dan turun mengecup kedua mataku, "Maaf membuat mata ini mengeluarkan airmata untukku," lalu turun kebagian pipiku, "Maaf membuat pipi ini menjadi pelampiasanku," dan terakhir mengecup pelan bibirku. "Maaf membuat bibir ini tidak bisa tersenyum saat itu."

         Edward melanjutkannya dengan memperdalam ciuman kami dan aku membalasnya. Aku menarik diriku dengan cepat karena menyadari kami sedang berada di lobby. "Cukup Ed." Ia tersenyum, "Aku akan memastikan kata ya keluar dari mulutmu lain kali."



Dont Forget The Votes Button


R.V

Unexpected Life [COMPLETED]Where stories live. Discover now