Part 22

1K 75 9
                                    


Pertandingan sudah dimulai sejak beberapa menit yang lalu. Sorak sorai pendukung dari masing-masing perwakilan sekolah memenuhi GOR Satrya Pusaka, menambah semarak acara hari ini. Tak urung dari mereka ada yang mengenakan berbagai macam atribut, berharap tim sekolahnya bertambah semangat. Teriakan yel-yel sahut menyahut dari ujung ke ujung.

Alang mengusap keringatnya yang menetes di dahi sebelum kembali berlari untuk menerima bola yang Mika umpankan. Tak butuh waktu lama untuk Alang melompat dan mendapatkan si orange incarannya. Kembali Alang berlari menuju kandang lawan untuk mengumpankan kembali si orange pada Bobby. Alang terus berlari dengan dibayang-bayangi Andrew, kapten basket SMA Cakra Binusa di belakangnya.

Sialnya, si orange berhasil direbut Andrew yang langsung dioper ke Ali dan hap! Cakra Binusa berhasil mencetak skor membuat posisi mereka sama sekarang.

"Harusnya lo langsung oper gua tadi!" Teriak Bobby, wajahnya terlihat begitu kesal.

"Lo ga liat si Andrew ngikutin gue mulu?" Balas Alang berteriak di tengah nafasnya yang tersengal.

"Shit!!!" Umpat Bobby setelah melirik perolehan angka mereka.

Bobby kembali berlari dan memberi pengarahan pada teman-temannya dengan gerakan tangan dan kilatan mata.

"Udah, ayo main lagi" ujar Mika sambil menepuk pundaknya sekilas sebelum kembali fokus pada permainan.

Di pinggir lapangan, Aluna dan teman-temannya ikut ketar ketir melihat skor SMA Bangsa dan SMA Cakra Binusa. Diam-diam berdoa dalam hati semoga kemenangan kembali menjadi milik mereka.

Aluna menatap cemas Alang yang berlari sambil sesekali berhenti. Terasa semakin janggal saat melihat wajahnya yang pucat. Aluna memutuskan menghampiri coachnya yang sedang menonton jalannya pertandingan dengan intens dan tangan terlipat di dada.

"Pak, apa kita nggak bisa ganti pemain? Alang keliatan nggak sehat," kata Aluna yang ditanggapi kibasan tangan oleh sang coach.

"Tanggung,"

Aluna mengernyitkan dahinya heran. Tanggung? Jawaban macam apaan tuh?

Aluna kembali menatap Alang, sambil sesekali melirik kursi penonton. Berharap menemukan Dika di sana dengan cengirannya seperti biasa. Tapi sama seperti 20 menit yang lalu, cowok itu tidak ada di manapun!

Mika juga melakukan hal yang sama seperti Aluna. Menatap Alang yang berlari sebentar lalu kembali berhenti. Dengan langkah gemetar, Mika menghampiri Alang. "Lang?"

Mika tidak ingat apa-apa lagi kecuali suara peluit panjang yang berbunyi dengan dirinya berlari keluar lapangan dengan tubuh Alang dalam gendongan sebelum dibantu oleh Bobby dan kawan lainnya. Pekikan histeris terdengar dari beberapa penggemar berat Alang dan anak-anak SMA Bangsa lainnya.

Aluna baru saja hendak berlari menyusul Alang saat sebelah tangannya ditahan oleh Siska. "Mau apa lo?"

"Sis, gue harus susulin Alang. Gue harus liat dia," jawab Aluna dengan mulut gemetar, menahan agar tangisnya tidak pecah.

"Ada banyak orang yang bakal ngerawat dan jagain dia Lun. Sekarang kita harus fokus dulu sama pertandingan, sebentar lagi kita main"

Siska lalu membantunya duduk. Mau tidak mau, Aluna harus menahan dirinya di sana lebih lama lagi. Cewek itu tidak yakin dengan pertandingannya nanti dengan pikiran sekacau ini. Aluna menahan mati-matian agar air matanya tidak jatuh saat mengingatnya. Dika tidak datang dan Alang pingsan.

***

Lexa buru-buru menuruni anak tangga tribun penonton satu persatu saat melihat Alang pingsan dan dibawa oleh beberapa temannya. Cewek itu beberapa kali tidak sengaja menabrak bahu orang-orang yang sedang berdiri. Lexa tidak peduli. Yang ia pedulikan adalah kondisi Alang sekarang.

"Mika tunggu!" Cegat Lexa saat Mika hendak menutup pintu mobil ambulans yang akan membawa Alang ke rumah sakit.

"Gue ikut."

Mika memandang Lexa heran sebentar sebelum mengangguk. Lalu membantu cewek itu naik. Yang membuat Mika semakin bingung adalah saat Lexa menangis terisak-isak dengan tangan cewek itu menggenggam erat tangan Alang.

***

Aldric menatap kepergian mobil ambulans itu dengan datar. Ia bisa melihat bagaimana sorot kekhawatiran itu dengan jelas. Sorot kekhawatiran Lexa untuk Alang. Apa jika Aldric yang terbaring di sana, Lexa akan memandangnya dengan sorot kekhawatiran seperti itu pula?

Aldric tertawa miris. Jangan harap. Siapa lo, Dric?

Aldric lalu mengecek jam tangannya. Pukul setengah 12 kurang. Dan ia masih berdiri di sini, di depan pintu GOR sendiri. Seseorang yang berjanji padanya untuk bertemu pukul 10 tidak menepati janjinya. Atau mungkin sudah lupa. Aldric berdecih.

Cowok itu lalu pergi dari sana sambil memasukan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. Bagaimanapun juga, Aldric harus mengakhirinya.

***

Ini pendek. Ya ya aku tau. Maafin:v

Budayakan setelah baca itu voment❤

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang