Chapter XXXIII

535 56 1
                                    

Malam itu, mereka berdua terjaga sepenuhnya. Menyusun rencana, mencari rencana-rencana cadangan, jalan alternatif, yang dapat ditempuh menuju ke Pusat Fasilitas ESR, memperkirakan kemungkinan-kemungkinan terburuk, dan sebagainya. Malam itu sunyi, meski sesekali suara teriakan dapat terdengar dari luar, lolongan keras di gang dan jalanan yang sepi. Dan sesekali juga, suara tembakan dari senjata api dapat terdengar. Sesekali, letusan pistol terjadi begitu dekat hingga Andri berjengit sedikit.

“Jangan khawatir,” kata Watson.

“Ya,” kata Andri, mengangguk. Terdiam beberapa saat, ia akhirnya bertanya, “Apakah… para junkies pernah mencoba masuk ke dalam rumah?”

“Sering,” jawab Watson. Dan sebelum Andri bisa bertanya lagi, ia menambahkan, “Tapi pintu rumah ini sudah kupasang pengaman. Jangan khawatir.”

Andri menoleh ke pintu depan. Pintu tersebut terbuat dari kayu, tampak sudah lapuk, dan bahkan sudut-sudutnya berlumut. Pengamanan seperti apa yang dapat diberikan kepada pintu seperti itu? Mungkin banyak, tapi dia tidak mengetahuinya. Masih banyak yang ia tidak ketahui. Ia berharap ingatannya dapat kembali, secepatnya, sepenuhnya. Tapi, semakin dia mengharapkan hal tersebut, semakin dia bertanya-tanya: apakah memang ia dan Ali, dulu, hidup di dunia seperti itu? Negara yang seperti itu? Dan tidakkah mereka melakukan apa pun untuk mencoba… memperbaikinya? Sekilas, ia ingat dirinya, dulu, banyak bekerja di lembaga-lembaga lingkungan hidup internasional. Tidakkah ia mencoba memperbaiki negara tempatnya dilahirkan, memperbaiki kehidupan sosial penduduknya?

Sebuah ingatan mencoba menghantamnya, namun Andri menahannya. Ia semakin ahli dalam melakukannya: menahan laju ingatan. Dia yakin kemampuan tersebut dapat bermanfaat di masa depan. Namun, dalam hati, dia masih sangat berharap dia bisa mendapatkan kembali ingatannya dengan cepat.

Meski dia sadar, bahwa dia tak memiliki hati. Bahwa mereka semua tak berhati.

Bahwa mereka semua adalah robot, adalah mesin.

Tapi…

“Watson?”

“Ya?”

“Apakah… kau ingat bagaimana kondisi Ali, terakhir kali kita melihatnya?” tanya Andri.

Watson diam sejenak. Lalu, dia menjawab, “Kau yang terakhir melihatnya, Andri. Kau yang berada cukup dekat dengan gedung tersebut sebelum mereka mulai menembaki kita. Yah… kau, Irena, dan Yusuf.”

“Apa yang terjadi dengan mereka berdua?” tanya Andri, meski ingatan mengenai apa yang terjadi pada mereka berdua, saat itu juga, sudah mulai kembali padanya.

“Tewas. Tiga sniper menembak kalian. Satu peluru untuk satu dari kalian.”

“Tuhan…” bisik Andri, membenamkan wajahnya dalam tangannya.

Watson, mendengarnya, mengangkat wajahnya dari peta dan menatapnya. Dia mengangkat sebelah alisnya, dan bertanya, “Kau menyebut ‘Tuhan’.”

Andri menurunkan kedua tangannya. Ia menatap Watson, bingung. “Ya…” gumamnya. “Ya, tentu saja. Kenapa?”

Watson masih mengangkat sebelah alisnya padanya. Kemudian, dia berkata pelan, “Kau seperti manusia.”

“Ap –”

“Hanya manusia yang masih berpikir bahwa Tuhan itu ada. Dan itu pun didasarkan pada pertanyaan mereka yang belum terjawab, ‘siapa yang menciptakan kami’. Kita berbeda. Kita tidak pernah berpikir mengenai Tuhan.”

“Kenapa tidak?”

“Karena pertanyaan tersebut sudah terjawab sejak sangat awal,” kata Watson. “Pencipta kita adalah manusia. Tuhan – bukan, mungkin lebih tepat ‘Dewa’ – kita adalah manusia.”

BotsWhere stories live. Discover now