Dalam mimpinya, ia berada di sebuah kota. Dia berlari dari sesuatu, sangat kencang, berlari dari sesuatu, atau seseorang, namun anehnya dia tidak merasa takut.
Dia merasa sedang bermain.
Seorang anak laki-laki berteriak dari belakang, dan dia tertawa-tawa. Dia berteriak balik, namun suaranya menghilang dalam langkah kakinya, hanyut oleh angin yang mengalir kencang di sisinya. Mendadak, suara anak tersebut berubah. Suara teriakan terdengar. Udara dingin menyapu sekelilingnya, Andri menoleh ke belakang dan mendapati dua orang junkies sedang mengejarnya. Dia menjerit, berlari lebih kencang, namun mendadak bangunan-bangunan dan orang-orang di sekelilingnya lenyap. Dia jatuh dari tebing, jatuh, jauh ke dalam jurang yang gelap, tak berdasar, dia berteriak –
Dia terbangun dengan mendadak. Seluruh badannya terasa sakit, seakan ribuan jarum sedang menusuk setiap sentimeter permukaan kulitnya. Menggerakkan jari-jemari saja terasa sangat menyiksa. Dia mengerang kesakitan, bergelung, tapi tindakannya tersebut justru membuat rasa sakitnya bertambah.
Sebuah pintu terbuka, beberapa orang masuk ke dalam ruangan. Mereka mengucapkan kata-kata aneh, salah satu dari mereka memeganginya, namun dia tak bisa mendengar atau pun melihat mereka. Dia terus memeluk tubuhnya, menunggu hingga rasa sakit tersebut hilang. Sangat perlahan, namun pasti, ribuan jarum tak-kasatmata tersebut berhenti menusuknya. Berkeringat dingin, napasnya naik-turun dengan cepat, Andri berguling hingga berbaring telentang di atas kasur, memandang langit-langit yang berwarna putih bersih.
Perlahan, inderanya pendengarannya kembali bekerja. Beberapa orang di sampingnya sedang berbicara dengan sangat cepat. Masih berusaha memperoleh napasnya, dia terus menatap langit-langit hingga detilnya terlihat lebih jelas. Yang tadinya adalah langit-langit putih bersih ternyata terdiri atas plafon-plafon yang dipaku, beberapa retak, kotoran, bercak, dan bahkan seekor cicak yang melintas, semuanya terlihat. Indera penglihatannya telah kembali normal, dia melihat sekeliling, ke dinding sebelah kirinya yang bercorak bunga-bunga dan ke sebelah kanannya, di mana empat orang dewasa sedang berdebat dengan seru.
“…demi Tuhan, apa yang membuatmu berpikir bahwa menggunakan benda itu pada anak kami adalah hal yang masuk akal?”
“Alat itu seharusnya aman, hanya stun gun biasa, seharusnya hanya akan membuatnya tak bisa bergerak selama tiga puluh detik –”
“Aman, aman, aman, KALIAN GILA! Anak kami mati selama sepuluh menit penuh dan kalian masih bisa bilang itu aman?”
“Seharusnya tidak seperti itu –”
“Oh, seharusnya. Ya, SEHARUSNYA KALIAN YANG KUSETRUM SATU PER SATU HINGGA JANTUNG KALIAN BERHENTI! LIHAT APAKAH KALIAN MASIH BISA BANGUN SETELAH ITU!”
“Dad…”
Keempat orang tersebut menoleh kepada Andri. ibunya, yang berdiri paling dekat dengannya, langsung berlutut, menggenggam tangannya. Wajahnya sembab, habis menangis. Ayahnya, mengenakan jas cokelat dan kacamatanya, tampak berantakan setelah berteriak-teriak kepada penjaga sekolah, turut menghampirinya.
“Andri, sayang…” bisik ibunya. “Kamu tidak apa-apa? Masih sakit?”
“Tidak… sudah tidak sakit, Mum…” jawab Andri pelan. Dia menyentuh lehernya, ke lekukan kecil di kulitnya tempat sebuah stun gun telah menyetrumnya.
“Jangan khawatir, lukanya akan sembuh,” kata ayahnya cepat. Dia kembali menatap si penjaga sekolah dan satu pria lagi, yang ternyata adalah Dr. Amri, wali kelas Andri, dan berkata tajam, “Kalian berdua harus menanggung ini. Ingat kata-kata saya - akan saya tuntut kalian berdua atas penggunaan alat yang tidak sesuai standar terhadap anak saya. Akan saya buat kalian menyesal!”
YOU ARE READING
Bots
Science FictionDunia Barat menjelang Abad 22. Sebuah Android telah menyerang beberapa manusia, melukai dan membunuh mereka. Beberapa hari kemudian, para Android mengangkat senjata mereka. Seminggu kemudian, mereka menghilang. Tiga bulan berlalu. Di sebuah negara k...
