Chapter XXXII

578 54 1
                                    

Saat malam tiba di wilayah pinggiran, segalanya menjadi sepi. Kebisingan yang ada di siang hingga sore hari menghilang, dan bersamanya, tanda-tanda kehidupan normal lenyap. Semua pintu ditutup rapat. Seluruh jendela ditutup tirainya. Orang-orang membentengi diri di dalam rumah.

Namun, menjelang tengah malam, di gang dan jalanan yang gelap, sosok-sosok orang dapat terlihat. Orang-orang yang bergerak dengan agak limbung, dengan mata merah dan berair. Mengeluh, mengerang, perlahan, bahkan tanpa suara. Junkies. Dengan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan yang dapat terlihat. Mereka berkumpul, bergerak, kadang menyebar, mencari mangsa. Depresi, obat-obatan, dan segala tekanan lainnya telah mereduksi mereka semua. Sesekali, beberapa dari mereka melolong, seperti serigala. Entah karena pengaruh narkoba atau karena menemukan mangsa.

Malam itu, tidak ada suara teriakan hingga tengah malam. Atau, setidaknya, belum.

“Kau bisa mendengarnya,” kata Watson. “Suara jeritan para korban. Wanita tua yang ingin ke toserba, membeli sesuatu untuk cucunya yang menangis. Remaja yang baru pertama kali mencoba narkoba, tidak tahu apa yang menunggunya. Atau, seringkali, junkies saling membunuh satu sama lain. Mereka berteriak, dan kadang cukup dekat dengan rumah penduduk. Namun, tak ada yang mau menolong. Tak ada yang mau keluar dari rumah mereka.”

“Termasuk dirimu?”

Watson tersenyum sedih. “Aku tidak takut menghadapi para junkies. Yang kutakutkan adalah pasukan polisi, drone, dan banyak lagi yang akan mengepung tempat ini demi mencariku. Mereka akan menggeledah setiap rumah. Mereka akan menemukan yang lainnya.”

“Apa yang lainnya?” tanya Andri.

Menoleh padanya, Watson menjawab, “Bukan hanya aku android yang tinggal di sini.”

“Benarkah?”

“Ya. Sebagian besar menyamar, sepertiku. Menjadi manusia biasa, imigran gelap, pekerja, budak, tunawisma, seperti itu.”

“Untuk menghindari pemerintah.”

“Sekali lagi, untuk bertahan hidup.”

Bulan purnama bersinar di langit malam. Di bawahnya, sebuah megapolis sedang terjaga. Puluhan, mungkin ratusan, gedung-gedung pencakar langit menjulang ke angkasa. Beberapa melampaui awan. Mereka semua menyalakan cahaya mereka, lampu-lampu mereka, beberapa berkelap-kelip begitu tingginya hingga bagai bintang-bintang di langit. Lampu sorot ditembakkan dari daratan, membentuk berbagai rupa di awan, logo-logo perusahaan hingga pemerintah.

Andri dan Watson berada di atas gedung apartemen kumuh yang terdapat di pinggiran kota. Di apartemen tersebut, di lantai dasar, terdapat kamar tempat tinggal Watson. Dari atas, mereka bisa melihat megahnya kota megapolis dan kumuhnya daerah pinggiran. Bagai bumi dan langit.

“Aku… tak menyangka Dunia Barat akan seperti ini,” kata Andri.

Watson mendengus geli. Dia berkata, “Tentu saja tidak. Mereka… para manusia, mereka selalu menyiarkan Amerika Serikat sebagai tempat paling maju, paling makmur, di Dunia Barat. Adidaya satu-satunya di dunia ini. Padahal, kau sudah melihatnya sendiri, ‘kan?”

Melambaikan tangannya ke arah gurun, yang gelap sepenuhnya, Watson berkata, “Tanah ini sedang sekarat. Megapolisnya terus tumbuh, tentu saja, dengan gedung-gedung yang bahkan melampaui langit, jalan-jalan layang yang saling melintang, dan seterusnya. Tapi separuh tanah Amerika Serikat – dari perbatasan Megapolis Iowa ke arah Barat – telah hancur karena nuklir pada Perang Dunia III, dan mereka tak akan bisa menyembuhkan diri. Sumber daya alam yang terbatas, penduduk yang sangat banyak…”

Andri mengangguk. “Karena itulah, mereka mendirikan banyak fasilitas-fasilitas produksi mereka di luar negeri. Sumber daya mereka sudah habis, sehingga mereka beralih ke negara-negara yang masih memilikinya.”

BotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang