Chapter XII

803 70 2
                                    

Andri mengepak barang-barang, seadanya, ke dalam tasnya. Dia telah mengurung diri seharian di kamar, menolak untuk turun pada jam makan siang dan malam. Dia menunggu sampai tak ada suara lagi yang terdengar dari lantai bawah. Biasanya, Ayah dan ibunya tertidur pukul 12 malam. Untuk berjaga-jaga, Andri menunggu 30 menit lewat tengah malam sebelum dia akhirnya keluar dari kamar.

Dia telah mengetahui keberadaan kamera pengawas di depan rumah. Oleh karena itu, dia tak mau mengambil risiko dengan keluar rumah melalui pintu depan. Dia berjingkat menuju dapur, berusaha sekuat tenaga untuk tak menimbulkan bunyi-bunyian apa pun. Kemudian, dia mengambil beberapa batang cokelat - sumber tenaga yang bagus untuk perjalanan - dan memasukkannya ke dalam tasnya. Lalu, dia naik kembali ke lantai atas, masuk ke kamarnya, mengunci pintunya.

Bagian berikutnya cukup sulit. Dia membuka kedua daun jendela kamarnya, memandang ke tanah di bawah. Jaraknya cukup jauh, sekitar lima meter. Namun, dia juga sudah memperkirakannya. Dia mencabut kabel terminal gulung yang menancap di stop kontak kamarnya, lalu melepaskan colokan kabel meja dari terminal tersebut. Kemudian, dia mengikatkan ujung kabel terminal tersebut ke kaki-kaki kasurnya. Dia sudah mengecek, tempat tidurnya cukup berat untuk ini.

Dia melempar terminal gulung tersebut ke tanah. Suara buk pelan terdengar saat terminal tersebut menghantam rumput, namun rumput di bawah cukup lembut sehingga dapat meredam suara. Dia berhenti sejenak, mendengarkan suara-suara dari lantai bawah, namun tak terdengar apa-apa. Ayah dan ibunya pastilah masih terlelap.

Dia mengenakan tas punggungnya, berdiri di ambang jendela, menatap tanah di bawah. Setelah dia melangkah keluar, tak ada lagi jalan kembali. Kalau mau berubah pikiran, sekarang saatnya.

Tentu saja, itu tidak dia lakukan. Dia menggenggam kabel tersebut erat-erat, kemudian, perlahan, berbalik arah sehingga tasnya berada di luar. Lalu, dia turun ke bawah.

Selama sesaat, dia merasa ketakutan, tangannya terasa licin, dan dia berayun-ayun dengan liar. Dia berusaha menjepit kabel dengan kakinya - seperti yang sudah dilihatnya di Net - dan bebannya terasa lebih ringan. Dia turun perlahan-lahan, pelan-pelan, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit  pun, serta berdoa agar detak jantungnya yang keras tersebut tak terdengar oleh siapa pun.

Ketegangan tidak meninggalkannya hingga ia mencapai tanah. Selama sedetik, dia berdiam diri, membiarkan dirinya merasakan kelegaan dengan adanya tanah padat di bawah kakinya. Andri melihat ke atas, ke jendela kamarnya yang terbuka, untuk terakhir kali.

Lalu, ia mulai berjalan.

***

Satu hal yang di luar dugaannya adalah cuaca. Beberapa langkah keluar dari wilayah perumahan, dia baru menyadari adanya rintik-rintik air yang turun dari langit. Sensasi Deja Vu melandanya, namun dia tak begitu memedulikannya. Dia mengeluarkan jaketnya dari dalam tas, mengenakannya sembari berjalan.

Melangkah cepat sepanjang trotoar, dia tidak bertemu dengan siapa pun. Jalanan kosong sepenuhnya, bahkan tidak ada robot-robot pekerja. Bayang-bayang gedung menjulang di kanan-kirinya. Hujan masih berupa gerimis kecil, bahkan nyaris tak disadari apabila cahaya lampu tidak memperlihatkan rintik-rintik air yang turun. Namun, dia tidak mau mengambil risiko. Dengan perandai-andaian akan turunnya hujan yang lebih deras, dia ingin berada di dalam bangunan saat itu terjadi.

Saat dia mencapai bundaran kota, dia melihat Diki sudah menunggunya. Mengenakan jaket tebal seperti yang dirinya kenakan, Diki berdiri menyandar ke tiang jembatan penyeberangan, tampak sedang mengerjakan sesuatu dengan Tabletnya. Dia mendongak begitu Andri sudah cukup dekat, dan langsung memasukkan Tablet tersebut ke dalam tasnya.

“Kau tak apa-apa?” tanya Diki.

Andri menggeleng padanya. Dia tidak merasa tidak apa-apa. “Sebaiknya kita langsung saja,” jawabnya.

“Ya,” jawab Diki, mengangguk setuju. Mereka berjalan berdua, dengan cepat menaiki jembatan.

Hujan belum bertambah deras, namun mereka mulai berlari-lari kecil. Mereka sampai di tempat tujuan mereka dalam waktu hanya beberapa menit. Di malam hari, gedung sekolah mereka menjulang tinggi ke langit bagai obelisk hitam yang menantang gelapnya malam. Sesaat, Andri menatap gedung tersebut, mengaguminya. Dia tidak sempat melihat gedung sekolahnya saat dia keluar dari dalamnya, satu malam lalu, saat dia terburu-buru kembali ke rumah. Berdiri di bawah sosok hitam raksasa tersebut, dia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, seolah jantungnya melewatkan detakannya sekali.

“Andri, ayo,” kata Diki, menarik tangannya. Kembali tersadar, Andri mengerjap sekali, melihat ekspresi khawatir di wajah Diki lagi. Tak bisa menemukan suaranya, dia hanya mengangguk mengiyakan.

Mereka melewati gerbang dengan mudah - lagipula, gerbang tersebut sepertinya tak pernah ditutup - dan mencapai pintu depan. Sesuai dengan yang mereka duga, pintu tersebut terkunci.

Tak ada panel atau tombol atau apa pun untuk bisa membuka pintu tersebut. Tidak seperti bagian dalamnya, yang mana terdapat panel untuk membuka kunci, sistem yang sama tidak ditemukan di bagian luar. Sepertinya pintu didesain untuk membuka secara otomatis di pagi hari, bisa dibuka dari dalam untuk kondisi-kondisi khusus, seperti misalnya ada murid yang ketiduran di perpustakaan selama belasan jam.

“Sini,” kata Diki.

Dia mengajak Andri berjalan ke samping, ke barisan dinding kaca yang tebal dan gelap. Dari luar, dia tak bisa melihat apa-apa ke dalam berkat sistem kaca susu yang telah digunakan selama berabad-abad.

Diki berjalan ke semak-semak di halaman, sepertinya mencari-cari sesuatu. Sejenak, Andri mengira Diki akan mencari batu untuk memecahkan kaca, dan dia baru saja akan memperingatkannya ketika Diki akhirnya berdiri tegak kembali, mengangkat sesuatu yang berbentuk seperti batang besi panjang dengan ujung tajam dan bengkok, benda yang cukup familiar untuk Andri.

“Untuk apa linggis itu?” tanyanya hati-hati.

“Sebentar,” kata Diki. Dia berjalan ke salah satu jendela, menyisipkan ujung bengkok tajam tersebut ke sela-selanya. Kemudian, dengan satu gerakan, jendela tersebut menggeser terbuka.

Berpandangan satu sama lain, dengan cepat mereka masuk ke dalam.

Diki menggeser kaca tersebut hingga menutup kembali. Rupanya, terdapat semacam mekanisme pintu geser pada kaca yang terbuka itu, lengkap dengan gagang yang mirip gagang pintu di sisinya. Diki memutar sebuah tuas, menimbulkan suara klak pelan. Mekanisme tersebut memungkinkan jendela untuk bisa dibuka dan dikunci dari dalam, namun tak bisa dikunci dan dibuka dari luar.

Diki menyadari ekspresi bingung Andri, dan langsung menjelaskan sembari mereka berjalan. “Setiap ruang kelas di lantai dasar memiliki satu jendela seperti ini. Bisa dianggap seperti pintu darurat. Saat gedung sudah dikuasai oleh pasukan, atau ada bahaya dari dalam gedung, pintu-pintu akan dibuka sehingga murid-murid bisa langsung dievakuasi. Itulah sebabnya sebagian besar pelajaran untuk kelas-kelas bawah dilangsungkan di lantai dasar. Anak-anak yang lebih kecil harus diselamatkan lebih dulu.”

Andri mengangguk, namun itu belum menghilangkan rasa bingungnya. Dia bertanya, “Tapi, bagaimana bisa kamu membuka kuncinya dari -“

“Ah, tidak. Aku tidak membuka kuncinya dari luar. Siang tadi, setelah aku berkirim pesan denganmu menggunakan meja di kelas Ekonomi kita, aku langsung turun ke sini dan membuka kuncinya. Jadi, aku tinggal membuka jendelanya dari luar.”

Jenius, pikir Andri, saat mereka telah mencapai ruangan yang mereka tuju: Ruang Staf

BotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang