Chapter XIV

912 71 8
                                    

Jalur darat menjadi satu-satunya pilihan untuk menuju Nusa Kambangan. Setelah merapikan kembali semuanya seperti semula, Andri dan Diki berlari sepanjang trotoar yang diguyur hujan. Tempat yang mereka tuju berada beberapa ratus meter dari sekolah, tak jauh dari Bundaran Kota.

Tempat tersebut adalah terminal bus.

Terminal bus kota Bogor cukup besar, dengan deretan bus yang diparkir di kanan dan kirinya, saling berhadapan. Sekitar selusin orang sedang menaiki salah satunya, lampunya menyala dan mesinnya hidup, tampak akan segera berangkat. Dua bus sedang keluar dari terminal, dan saat Andri serta Diki mencapai loket pembelian tiket, dua bus tiba dari jalan raya. Untuk setiap bus yang berangkat, satu akan datang menggantikan posisi parkirnya.

Andri mengamati bus-bus tersebut, yang menerjang hujan seolah tak peduli. Mereka mengangkut hanya segelintir orang setiap kalinya, namun tetap berjalan. Bus-bus tersebut, seperti halnya sebagian besar bus magnet, dikendarai dan dijaga oleh robot.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sebuah robot di loket.

“Ya,” kata Diki. “Kapan bus ke Kapital Jawa berangkat?”

“Kurang lebih lima menit lagi. Apakah Anda ingin membeli tiket?”

“Ya. Dua tiket. Apakah busnya akan singgah di Terminal Banyumas?”

“Tentu saja,” jawab si robot. “Terminal Banyumas adalah terminal transit untuk seluruh bus sebelum mereka diarahkan ke terminal-terminal lain di seluruh Kapital Jawa. Sekarang, mohon kredit Anda.”

“Aku tak punya kredit. Bisakah menggunakan uang tunai?” tanya Diki.

“Tentu saja bisa.”

Andri memandangnya. Menoleh kepadanya Diki berkata pelan, “Kalau menggunakan kredit, namaku akan tercatat. Semua orang akan tahu lokasi kita.”

“Oke,” kata Andri, memandang transaksi antara Diki dengan si robot. Dua buah tiket, masing-masing terbuat dari lembar plastik, kini ada di tangan mereka. “Kau sudah biasa bepergian dengan bus?”

“Aku tak pernah ke Kapital Jawa, tapi aku sering bepergian ke daerah-daerah di Jawa Barat dengan bus. Saudara-saudaraku tersebar di banyak tempat di provinsi ini,” kata Diki.

Andri mengangguk. Mereka berjalan ke bus mereka, bus 7, yang parkir berada persis di sebelah bus yang telah penuh. Berbeda dengan bus di sebelahnya itu, bus 7 nyaris kosong melompong, hanya ada dua orang di dalamnya selain mereka berdua. Satu adalah seorang pria tua bersetelan rapi, mengenakan earphone dan mengetik di Tabletnya. Sepertinya dia pebisnis yang sedang melakukan perjalanan dinas. Satu lagi adalah seorang pemuda bertubuh tegap, duduk di bagian depan bus, mengenakan kaus dan jaket hitam serta blue jeans. Di sebelahnya terdapat sebuah kotak kontainer jinjing.

Pemuda tersebut memandangi mereka berdua saat mereka naik, dan mereka berdua mengangguk sopan padanya. Menunjukkan tiket mereka pada Robot Pemeriksa, mereka duduk beberapa kursi di belakang si pemuda, yang memandangi menatap mereka sejenak sebelum kembali melihat ke depan.

“Sepertinya dia dari militer atau kepolisian,” bisik Diki.

“Aku juga berpikir begitu,” ujar Andri pelan. “Apakah Menurutmu kita sudah ketahuan?“

“Tidak, tak mungkin kita sudah ketahuan,” kata Diki. “Baru sejam satu jam lalu sejak kamu meninggalkan rumah, dan kita baru lima menit dari sekolah. Ditambah, kalau ia benar-benar sedang mencari kita, kita pasti sudah ditangkap sekarang. Tenang.”

Kekhawatiran Andri belum hilang sepenuhnya, namun suara gemuruh yang terdengar mengalihkan perhatiannya. Bus mereka mulai bergerak. Perhatiannya teralih, Andri menatap keluar melalui jendelanya. Mereka sedang melaju, keluar dari area terminal dan menuju jalan raya.

BotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang