SATU

1.1K 125 103
                                    

"You can't party all the time

–especially in January."



Aku beringsut makin dalam menenggelamkan tubuhku di bawah selimut. Aku benci awan gelap yang menggulung-gulung di atas langit menyembunyikan secercah sinar mentari. Aku benci dingin. Aku benci salju. Aku benci Januari. Tapi lebih dari itu, aku benci harus bangun pagi untuk sebuah absensi di kelas pertamaku.

"Al, wake up!"

07.15, waktu bagi Mom untuk berteriak membangunkanku dari depan pintu. Tidak ada suara tangan beradu dengan kerasnya kayu mahogani, atau derap langkah yang menerobos masuk meski tahu pintu kamarku tidak pernah dalam keadaan terkunci. Sebuah kebiasaan. Dan aku pernah sangat-sangat merindukan teriakannya hampir selama sebulan. Absensiku nyaris tidak pernah selamat selama ketidakhadiran suara merdu Mom kala itu. Janjiku, aku tidak akan membiarkan Mom pergi lagi.

"Al, wake up!"

Insting pertamaku adalah mengabaikannya, mengubur tubuhku dalam-dalam di bawah selimut wol bergambar Oriental Poppy  yang hangat, tapi tidak kulakukan.

Dad.

Aku tidak mau pagiku dipenuhi pertengkaran, sakit kepala, dan lebih banyak lagi teriakan.

Kuputuskan membalas teriakan Mom dengan berkata, "aku baru selesai mandi!"

Kebohongan pertama!

Mom berdiri di bawah tangga rumah kami yang besar. Senyumnya merekah yang menurutku terlalu lebar jika dikhususkan untuk menyambutku turun dari lantai dua kamarku satu jam setelah teriakan Mom membangunkanku tadi.

"Morning, Mom." Sapaku, berjalan menuruni tangga lalu memberi kecupan ringan di pipi kanannya.

"Ayo sarapan. Aku membuat penekuk dan cokelat hangat untukmu."

Aku melangkah ke dapur, meninggalkan Mom di belakang yang tiba-tiba lebih tertarik pada sekumpulan lelaki yang berpakaian seragam di televisi. Tidak heran, karena Mom mencintai tarian lebih dari apapun dari macam kultur lainnya di Negara Ibunya, tapi aku lebih suka melihatnya bermain clairseach.

Mom seorang Gaelic sejati, Ayah dan Ibunya, kakek-nenekku, memang penduduk asli Irlandia. Mom dilahirkan di sana empat puluh lima tahun yang lalu.

Mom bergabung denganku di meja makan ketika aku sedang mengirim potongan penekuk ketigaku ke dalam mulut. Dia duduk di kursi dimana biasanya Dad duduk menghabiskan waktu sarapannya bersama kami. Membuatku sadar ternyata hanya ada dua piring dan dua gelas di atas meja.

"Where's Dad?" Tanyaku.

"Your father already left . You made him bored."

Orang sibuk. Aku paham. Menjadi investment banker membuatnya tidak punya banyak waktu untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan duduk menatap layar televisi di dalam rumah bersama keluarga atau menyapu tumpukan salju yang menggunung di pekarangan rumah. Waktunya sudah habis untuk akusisi, merger, private equity placement, corporate restructuring, dan entah apa lagi selain yang kusebut barusan, aku-tidak-ingin-tahu. Singkatnya, Dad tidak pernah menatapku lebih dari satu menit sekedar untuk bertanya "bagaimana kuliahmu? Kau bahagia tinggal di sini?" Dia tidak pernah tahu, dan terkesan tidak ingin tahu mengenai sulitnya aku beradaptasi di lingkungan ini. Dua tahun tidak cukup lama bagiku untuk bisa berkomunikasi lancar menggunakan bahasa Korea.

"Semalam Ayahmu marah tidak mendapatimu di rumah saat dia pulang. Kau kemana, sayang?"

"Rupanya Dad masih peduli padaku," Mom sudah nyaris mau menceramahiku mengenai sopan santun anak-dan-bapak andai saja aku tidak buru-buru menjawab pertanyaannya. "Aku pergi bersama seorang teman. Mengerjakan tugas."

22nd Journey [completed]Where stories live. Discover now