BAB 5 (Hero)

2.1K 106 1
                                    

"buka aja topengnya nggak papa kok" Adam mendekat ke arah Shila yang saat ini dengan susah payah mengusap air mata di balik topeng minionnya.

"Boleh kak?" Mila masih tak yakin dengan perintah Adam karena memang peraturan tidak memperbolehkan peserta MOS melepas topeng

"udah buka aja, gue ijinin lo, kalo mau nangis, nangis aja"
Shila hanya terdiam mendengar tawaran Adam yang tiba-tiba menjadi sok akrab dengannya, seketika ia merasa bahwa Dika sedang berada di sini dan melindunginya, ketakutannya yang semula meronta kini mulai sirna tergantikan perasaan nyaman yang sayup-sayup datang.

"omongan Levin nggak usah di masukin hati, dia emang kayak gitu orangnya" jelas Adam setelah ia mengajak Shila untuk duduk di tepi panggung Aula.

"iya kak" tangan kanan Shila memegang topeng, iya cewek itu tentu saja sudah melepaskan Topengnya.

Sejenak terjadi keheningan, saat Adam merogoh ponselnya di saku seragam, ia tersenyum sepertinya membaca beberapa pesan yang masuk
Shila tampak melirik ke arah layar ponsel Adam, namun ia tak bisa membaca pesan yang yang masuk ke ponsel Adam, hingga beberapa saat kemudian Adam me-lock screen dan menyimpan ponselnya lagi di tempat berbeda yaitu saku celana. Shila dengan segera membuang tatapannya ke depan.

"oh iya ngomong-ngomong sandwich-nya enak, itu bikinan lo ?"

"hah?" Shila melongo heran karena ternyata bukan Levin yang memakan bekal pemberiannya.

"Ternyata Levin nggak suka sayur, sandwich-nya tadi ada sayur nya gitu kan, Levin bilang dia nggak suka, makanya gue yang makan" jelas Adam. Suaranya benar-benar menenangkan.

"ohh iya kak, itu bikinan ibu aku, bukan bikinan aku" cewek itu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"oooooh bikinan ibu lo" Adam manggut-manggut, "kalau gitu sampein makasih ke ibu lo ya, sandwichnya enak" Adam menyodorkan jempolnya di depan Shila.

"iya kak makasih, ntar aku bilangin" bibir Shila kini sedang membentuk seulas senyuman, dan jantungnya mulai berdetak kencang lagi? namun bukan seperti saat berhadapan dengan Levin tadi, kali ini berbeda karena ada rasa menggelitik di dalam hatinya, apalagi setelah menatap wajah Adam yang teduh.

"oh iya kalo ngomong sama gue pas lagi bedua gini santai aja, anggap aja kita temen, manggil gue elo juga gapapa kok"

"Hah" tanpa sadar Shila mengatakan hah secara refleks dan sepersekian detik berikutnya ia menyesalinya.
"Oh... maksudnya iya kak, aku ehh gue.... eh emang nggak papa kak?"

"Santai aja lagi, nama lo Shila kan"

Shila hanya mengangguk pelan

"yaudah, Jump ship !! Lo nggak usah terusin hukumannya, ntar juga ada mas mas sama ibu-ibu cleaning service yang bersihin kok"

"se..serius nggak papa kak?"

"Iya serius, lo kok ngeraguin gue mulu kayaknya, nanyanya nggak papa nggak papa terus?" ledek Adam seraya terkekeh pelan dan sukses membuat semburat merah di pipi Shila hingga cewek itu tak tau harus berkata apa sekarang.

"mending sekarang lo balik ke kelas, karena temen-temen kelas lo pasti lagi pada latihan buat lomba pensi antar kelas besok"

***

Tiiiiin tiiiiinnnnn

Levin mengklakson motornya dengan kencang, berkali-kali hingga menimbulkan suara layaknya segerombolan motor pendukung parpol yang sedang kampanye atau konvoi gerombolan anak SMA yang merayakan kelulusan

Tiiiiin tiiiiinnnnn

Tiiiiiiiiiiiinnnnn tiiiiiinnnnnnnn

Beberapa saat kemudian munculah pak Tono, satpam rumah Levin dengan tergopoh-gopoh membukakan gerbang rumah besar itu.

"Lama banget sih bukain nya? Kerjaan lo Ngapain aja?" Maki nya pada satpam yang saat ini sedang memasang wajah ketakutan.

"Maaf Den Epin, tadi saya abis dari toilet" jawab Satpam bernama pak Tono tersebut sambil memegang pagar sampai majikannya tersebut masuk. Namun permintaan maaf Pak Tono sepertinya tidak di gubris oleh Levin.

Cowok itu dengan cepat menjalankan motornya hingga sampai di garasi untuk memarkirkan motor kesayangannya itu, Ia kemudian turun dan berlanjut memasuki rumah.

"Levin. Kamu udah pulang?" Sambut sang ayah yang saat ini sedang duduk di ruang tamu bersama seorang wanita. Levin tak menggubris pertanyaan yang lebih seperti sapaan itu, karena tatapan nya langsung menjurus ke arah seorang wanita yang sedang duduk di samping ayahnya, wanita paruh baya, memakai pakaian formal dengan rapi dan sepertinya seorang wanita karier yang usianya tak jauh beda dari ayahnya.

"Levin kenalin ini tante Diana" ayah Levin segera mencairkan suasana saat melihat ekspresi anaknya itu.

"Halo Levin" wanita paruh baya itu menyodorkan tangannya.

"Dia siapanya papa?" Alih-alih menjabat tangan Diana, Levin justru melempar pandangan ke arah ayahnya.
Dengan sabar Diana menarik kembali tangannya.

"Dia, calon istri papa" Ayah Levin menarik nafas panjang setelah mengatakan bahwa Diana adalah calon istrinya.

"Apa? Apa aku nggak salah denger Pa?"

"Iya, jadi sebenernya papa mau sampein ini sama kamu sejak beberapa hari yang lalu tapi kamu____"

"Calon istri? Papa mau nikah lagi? Papa mau ganti posisi mama???" Ada jeda sebentar untuk seulas senyum masam yang di torehkan Levin sambil menggeleng.
"nggak!!! AKU NGGAK SETUJU" tambahnya tegas sambil mengayunkan telunjuk kanan ke bawah.

"Cukup Levin! Papa sama tante Diana udah atur tanggal penikahan kami, jadi kamu harus terima ini"

"Nggak! Sampe kapanpun nggak ada yang boleh gantiin posisi mama, nggak! Apalagi wanita ini, tante maaf tante nggak di terima!" tunjuknya pada Diana sambil menggeleng, lagi, bibirnya mengukir senyuman masam. Senyum yang kontradiktif dengan hatinya.
Seketika Diana membelalakan mata, namun sepersekian detik kemudian raut wajahnya berubah menjadi khawatir, ia tak bisa berkata apa-apa, termasuk menengahi perdebatan antara ayah dan anak itu.

Sedari tadi Ia hanya memperhatikan kedua orang di depan, jantungnya sudah berdetak lebih dahsyat dari normal, karena kekhawatirannya yang telah terjadi, yaitu penolakan dari Levin, anak dari calon suaminya.

"CUKUP LEVIN!! Di mana sopan santun kamu? Memang nya kamu fikir tante Diana ini siapa? Dia akan jadi mama kamu dan setuju atau tidak setuju! Kamu harus nerima!" Jawab ayah Levin telak dengan nada 1 oktaf lebih tinggi dari putranya itu.

"Mas udah mas! Jangan di paksain" Diana segera berdiri mendekati ayah Levin dan membujuk pria itu agar tidak terpancing emosi.

Levin tak lagi menggubris ayahnya dan Diana, ia segera pergi beranjak menuju kamar. Tak mau lagi menentang, tak mau lagi berdebat, karena sang ayah sepertinya sudah benar-benar bulat ingin menikahi Diana.

"Itu dia Di kelakuan Levin, dia itu keras kepala sekali, kamu jangan ambil hati sama omongannya" dengan raut wajah penuh penyesalan ayah Levin menjelaskan kepada Diana.

"Mas Haris tenang aja, itu wajar mas, awalnya Adam juga nggak nerima, walaupun nggak sekeras Levin,tapi sekarang dia mengerti" bujuk Diana pada Haris ya ayah Levin bernama Haris.

"Saya cuma pengen dia itu punya sopan santun dan sedikit mengerti, nggak keras kepala kayak sekarang, selama ini saya nggak peduli sama dia karena sibuk kerja, sejak ibunya meninggal dia semakin nggak jelas perangainya, saya rasa karena dia nggak dapat perhatian dari sosok ibu, walaupun terlambat, saya masih pengen dia itu berubah, dan saya yakin kamu pasti bisa membantu dia"

"Iya mas, semua itu bisa berjalan seiring waktu, dan mungkin cara kita memberitahu dia terlalu mendadak" bujuk Diana dengan sabar.

TBC....

Votement!!!

TURNS LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang